tahun 2009 lalu saya punya pengalaman diundang dalam buka puasa bersama di rumah Jabatan pejabat di Sulsel, karena menjelang lebaran dan juga dalam suasana Pilkada undangan buka puasa yang terdiri dari kelompok mahasiswa/pemuda, OKP, dan para tukang becak di sekitar rumah jabatan mendapatkan bingkisan sarung, sajadah dan amlop berisi uang, dan dalam bingkisan sarung sudah terpasang stiker pejabat sang calon itu dengan senyum manisnya.
Dalam bingkisan itu juga ada beberapa kartu nama dan stiker sang pejabat itu, saya sih menerimanya saja. lalu membuka amlopnya dan kuhitung lumayanlah untuk dipake lebaran, kulihat para tukang becak itu juga tak kalah gembiranya mendapatkan bingkisan tersebut. yah, buat mereka bingkisan itu pasti sangat berarti di saat harga merangkak karena bulan ramdhan dan mendekati lebaran.
Kami mungkin sudah tidak peduli dengan maksud stiker yang ditempel dan beberapa lembar kartu nama sang pejabat itu yang sangat santer dikabarkan maju di Pilkada, hanya saja saya lama tertegun juga antara mengambil tidaknya bingkisan itu.
Batin saya bilang, ini memang bulan puasa, saat yang baik untuk saling berbagi, tetapi memberi itukan mesti tulus tanpa motif dibaliknya, ihklas karena Tuhan. Tapi pejabat ini jelas-jelas sudah tidak ikhlas karena ia memakainya sebagai alat sosialisasi biar dicitrakan dermawan.
Tapi saya menghalau pikiran itu, soal apakah ada motif atau tidaknya, tulus atau tidak biaralah menjadi urusan Tuhan, sarung itu saya berikan kepada ibuku yang memang butuh, setelah stiker wajah pejabar itu saya cabut dan buang tentunya, lalu uang itu, saya pakai beli bahan makan untuk sahur bagi teman-teman di sekretariat organisasi yang di huni beberapa mahasiswa rantau itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H