“ seandainya ada lebih banyak kaum politik memahami puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin, dunia yang kita diami ini akan menjadi tempat yang sedikit lebih baik” – Jhon F. Kennedy
Saya menunggu dengan antusias Makassar international Writers Festival 2014 yang diselenggarakan 4-7 Juni 2014 lalu oleh Rumahta Arts Space tersebut, terutama karena dua program yang menarik perhatian saya, keduanya adalah bentuk forum diskusi bertemakan sastra dan politik. Catatan ini menjadi refleksi dari dua diskusi tersebut.
Diskusi pertama soal sastra dan politik ini diselenggarakan pada hari kedua event MIWF 2014 ini, dengan moderator M. Aan Mansyur, tampil sebagai pembicara dua sastrawan yaitu Eka Kurniawan dan Linda Christanty, sayangnya saya telat masuk ke ruangan padahal saya sudah menyiapkan semacam ‘bekal’ bacaan agar bisa masuk ke pembicaraan yang ‘serius’ ini. Pikir saya, pembicaraan diskusi tergolong berat, ini perihal yang lumayan sensitif dalam sastra ataupun dalam praktek politik di negeri ini, terbayanglah bagaimana, tema ini begitu riuh diterdengar dalam jagat sastra Indonesia, terutama menjelang runtuhnya orde lama dan berdirinya sebuah rezim orde baru dibawah komando Soeharto yang berhasil berkuasa di negeri ini 32 tahun lamanya.
Mungkin situasi diskusi ini akan berbeda seandainya berlangsung sebelum orde baru (juga) berhasil ditumbangkan, untungnya kita dan saya terutama menikmati sedikit udara bebas di masa reformasi ini, walaupun begitu 16 tahun reformasi yang sudah dilewati ini, menurut saya justru tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kembali menarik diri dalam ‘serius’nya sastra yang bertendensi politik.
Barangkali, akibat lamanya rezim Orba berkuasa telah membuat kesusastraan kita menjadi begitu phobia dengan unsur politik ataupun politik yang bekerja dalam instrument kesusatraan kita – atau juga dalam kesenian- kita.
Padahal, arus politik lewat sastra dan kesenian kita terutama sempat dipicu kembali dengan kehadiran Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) sebelum 1998 atau bila dipersonifikasi, bisalah kita sebut lewat penyair solo yang keberadaanya tetap jadi misteri hingga kini, Widji Thukul. Frase dalam puisinya yang sering dikutip sebagai pemantik semangat para demosntran yang menjatuhkan rezim Soeharto “ Hanya ada satu kata, Lawan!” juga menjadi lirik lagu-lagu perjuangan yang seringkali dinyanyikan demonstran-demonstran itu.
Yang mengherankan saya, api semangat itu kembali redup. Ataukah sastra seperti puisi-puisi Widji Thukul bukan lagi jadi trending topic (meminjam istilah dalam dunia social media, twitter yang berarti topik yang jadi pembicaraan terbanyak dipercakapkan) dan kalah populer penggemarnya dibanding puisi Sapardi Djoko Damono “ Hujan di Bulan Juni” ?
Kembali ke program MIWF 2014 yang menggelar diskusi sastra dan politik itu, meski kemudian saya kehilangan beberapa waktu mengikuti diskusi ini, saya kemudian menduga bahwa diskusi tersebut lebih banyak diisi dengan cerita-cerita soal proses kreatifnya, meski kedua pembicara bersepakat bahwa sastra tidak terlepas dari perannya sebagai warga negara yang harus peka pada realitas sosial politik disekitarnya. Eka Kurniawan, novelis kesukaan saya ini, masih agak menggembirakan saya dengan pandangannya bahwa, sastrawan harus punya pandangan politiknya, pandangan itu katanya harus menyatu menjadi bagian dirinya yang tercermin dalam karya-karyanya. Tetapi bagi Eka Kurniawan dan juga bagi Linda, tugas ‘politik’ sastrawan ada pada menginginspirasi pembacanya. Saya mengkalkulasi pernyataan ini dengan membuat konklusi sendiri, bahwa sastrawan ‘hanya’ membuat karya yang berbau kritik sosial politik dan sebatas menginspirasi pembacanya, tanpa tanggung jawab apakah gagasan itu berefek dalam bentuk operasionalisasi di lapangan. Atau dengan sederhana, karya itu tidak berpretensi untuk membuat gagasan sosial politik sastrawan bisa mengubah keadaan.
Boleh jadi, hal itu masih lebih baik dari sikap para sastrawan yang ‘dicurigai’ oleh Ariel Heryanto penganut-penganut sastra “universal” atau “humanism universal” coba bandingkan sikap yang sebutkan di atas dengan pernyataan yang dikutip Ariel Heryanto dalam makalah panjangnya “Sastra ‘dan’ Politik (sebuah upaya memahami persoalan kesusastraan mutakhir di Indonesia) dari Budi Darma mengenai hubungan sastra(wan) dan tugas politiknya dalam pidato penerimaan Hadiah Sastra 1983 dari ewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tanggal 31 Maret 1984 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dia mengaku cemas karena: “ masyarakat sastra terlalu banyak menunutut hendaknya sastra tidak terlepas dari kondisi sosial….sebagai seorang warga Negara, setiap pengarang memang mempunyai kewajiban untuk commited terhadap masalah social, tapi sebagai pengarang…dia mempunyai kewajiban yang berbeda,”
Atau simak juga pandangan Sapardi Djoko Damono yang mengutip pandangan barat, konon ia berkomentar bahwa; “ jika seorang pengarang melibatkan diri dalam politik, ia harus melakukannya sebagai warga Negara sebagai manusia, tetapi tidak sebagai pengarang…” padangan hampir senada dilontarkan oleh sastrawan-sastrawan yang menerima baik sastra humanism universal sebagai pondasi penciptaan mereka sebagai pengarang, misalnya Abdul Hadi WM dan Sutadrji C. Bachri –yang membuat standar puisi yang baik ialah “enak dibaca” tapi ditolak oleh Emha Ainun Nadjib.
Ikhwal yang menunjuk penganut sastra ‘universal’ sebagai biang keladi dari keterpisahan sastra dari politik dibahas lebih menukik pada diskusi hari ketiga di MIWF2014 bersama Wijaya Herlambang, penulis buku “ Kekerasan Budaya Pasca 1965” huru hara yang digambarkan Taufik Ismail dalam bukunya “Prahara Kebudayaan” itu mengingatkan soal ‘kemenangan’ para pendukung Manifes kebudayaan. Penulusuran Wijaya atas prahara tersebut menunjukan bahwa sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan ikut mendukung lahirnya orde baru dengan menggerakkan secara sistematis penyebaran ideologi Humanisme Universal di semua lini bidang kesenian bahkan pilar kebudayaan. Tindakan ini kontradiksi atas pernyataan Manifes Kebudayaan bahwa seni –dan juga sastra- harus diletakkan di atas tendensi politik. Inilah yang mengundang pernyataan sinis Keith Foulcher –seperti dikutip Ariel Heryanto- atas pernyataan Manifes Kebudayaan bahwa “ seni yang bebas politik” justru adalah sebuah pernyataan politis. Dialah yang memberi kesimpulan atas penelitiannya perihal robohnya orde lama, bahwa itu bukan saja soal menangnya orde baru tapi juga menangnya ideologi humanism universal tersebut.
Pernyataan-pernyataan Wijaya Herlambang dalam diskusi yang dipandu oleh penyair Aslan Abidin itu sungguh terdengar “menggairahkan” sekaligus provokatif, pandangan yang diambil dari risetnya atas prahara kebudayaan negeri ini disekitar tahun 1965 dan juga menarik karena Wijaya, melakukan pembacaan hingga ke situasi kotemporer khususnya ‘menelanjangi’ Gunawan Muhammad yang mencoba berkedok seniman kiri itu. Tapi bagi saya, Wijaya meninggalkan persoalan ketika ia tidak memberi petunjuk dalam ‘membaca’ sastra mutakhir Indonesia untuk mana yang dimaksud sastra ‘kiri’ dan ‘kanan’ atau mungkin kategori yang terlajur dipersepsi sinis sebagai kategorisasi yang politis itu tidak lagi punya relevansi dan tidak penting dipersoalkan? Pada derajat tertentu saya sendiri sepakat hal itu tidak penting, sebab itu membuat kita juga semakin terperangkap atas frame keterpisahan sastra dan politik. Tetapi itu menjadi soal untuk mendeteksi sastra “universal” yang dipersoalkan. Itu pun belum cukup, soalnya apakah sastra yang bertema kritik social-politik yang tidak harus memperhatikan “keindahan” bentuk karyanya –seperti lazim sangat diperhitungkan penganut sastra universal- dengan serta merta adalah sastra ‘kiri’? hal ini saya kira tidak bisa dengan sederhana misalnya diterapkan dalam membaca karya-karya Eka Kurniawan, dalam bentuk nyaris tak ada yang menyangkal “keindahan” dan kecerdasan novelis yang baru saja meluncurkan novel terbarunya “ seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas” itu dalam bercerita, karyanya berisi peritsiwa-peristiwa yang ditarik lebar ke atas menyorot persoalan sosial politik.
Persoalan kedua yang ditinggalkan Wijaya Herlambang dalam diskusi itu, juga perihal bagaimana pendapatnya sastra bertendesi politik itu hanya sebatas menginspirasikah? Walaupun sempat menunjuk Widji Thukul sebagai sastrawan kiri, tetapi Widji Thukul tidak sekedar membuat puisi politik, juga turun langsung ke akar rumput melakukan “aksi politik”
Pada titik ini saya menganggap bahwa sastra politik tidak sekedar bisa menginspirasi tetapi juga bisa ‘dioperasionalkan’ dan pengarang bertanggung jawab sosial atas karya tersebut sebagai ideologi politiknya. Widji Thukul turun membacakan puisinya dimana-mana, bekerja politik, seperti layaknya subcomandante Marcos pemimpin gerakan tanah adat di Meksiko yang menjadikan sastra sebagai senjatanya. Atau gerakan puisi pamfletnya Rendra yang sempat membuat ‘takut’ pemerintah itu.
Ketika hiruk pikuk jelang pemilihan Presiden tahun ini pun sempat diriuhkan oleh persitiwa balas-membalas puisi antara dua kubu yang ‘bertarung’ dalam pilpres, menurut saya itu sebuah gejala baik bagi mengembalikan sastra pada politik –ataupun sebaliknya- walaupun para sastrawan mensinisi hanya karena mereka politisi bukan penyair misalnya.
Daripada kenyataan bahwa puisi-puisi semacam Widji Thukul misalnya, kini tidak sepopuler masa-masa awal reformasi disbanding puisi-puisi “Hujan Bulan Juni”nya Sapardi. Yang membuat saya mencurigai, jangan-jangan ideologi sastra “universal” itu tengah dimanfaatkan oleh ideologi “pasar” hingga puisi-puisi cinta nan galau begitu ‘menggiurkan’ diproduksi sastrawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H