Mohon tunggu...
Irvina Lioni
Irvina Lioni Mohon Tunggu... lainnya -

Pemilik Blog http://kancut-beringas.blogspot.com | Pendiri Komunitas Blogger Kreatif Indonesia @kancutkeblenger | Penulis buku KANCUT KEBLENGER: DIGITAL LOVE | Sedang Menyusun Masa Depan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ini Namanya Kencan Terselubung, Bung

20 Oktober 2013   02:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:17 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13822096562122249764

[caption id="attachment_286288" align="aligncenter" width="300" caption="Kencan bukan sekadar pertemuan biasa. Bagaimana menurutmu? (Sumber gambar: http://sidomi.com/wp-content/uploads/2012/09/kencan.gif)"][/caption]

“Terimakasih sudah menemani gue malam ini. Setidaknya malam ini gue nggak merasa suram.”

Menjadi seorang perempuan itu memang sulit, harus pintar mempertahankan prinsip dan setia menunggu kepastian. Maksudnya?

Mempertahankan prinsip. Tahu sendiri kan kalau budaya kita cenderung menyuruh perempuan untuk tidak mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu kepada pujannya? Walau kita juga tahu kalau sekarang ini ‘katanya’ merupakan zaman emansipasi perempuan. Ingin mengungkapkan perasaan saja kok repot? Mengapa tidak diungkapkan saja agar terasa ada kelegaan hati ?

Masalahnya saya sudah terdoktrin dengan prinsip, “Mengungkapkan perasaan itu hanya boleh dilakukan oleh kaum Adam. Perempuan tidak boleh melakukannya karena akan dianggap murahan dan tidak tahu diri.”

Saya tidak tahu apakah saya salah. Namun menurut saya, soal prinsip ini hanyalah masalah pilihan. Walau begitu, saya mengakui bahwa saya pernah menjadi pihak pertama yang berani mengungkapkan cinta kepada seseorang. Tepatnya dua tahun lalu. Sayangnya kita tidak menjalin hubungan apapun karena setelah diselidiki ternyata dia adalah seorang pria penyuka sesama jenis. Bodoh, memang.

Menunggu kepastian barangkali menjadi sesuatu yang amat membosankan bagi kita. Apalagi jika pada akhirnya kita harus menunggu sekian lama dan ternyata tiada hasil. Tapi tetaplah ingat bahwa sikap sabar amat dicintai Tuhan. Jadi, kalau memang kepastian itu hanyalah bullshit, ingatlah bahwa Tuhan akan selalu bersama kita dan sedang menyiapkan rencana yang lebih baik.

Setidaknya, dua hal ini sedang saya rasakan dan sedikit mengusik pikiran. Ah, dasar cinta.

Berbicara tentang CINTA, mungkin tidak akan pernah ada habisnya. Cinta sendiri seringkali membuat kita nekat untuk membohongi diri sendiri dan orang lain. Membohongi diri sendiri? Seperti apa, sih? Ya misalnya saja ketika pada awal kencan kita memperlihatkan sikap yang sangat manis. Padahal kalau kita sedang bersama teman-teman, kata-kata vulgar sering kita lontarkan. Tidak ada manis-manisnya sama sekali.

Membohongi orang lain? Gampang saja. Pernahkah kamu mengaku ke orangtua bahwa kamu ingin belajar bersama di rumah teman? Padahal sebenarnya kamu ingin pergi kencan bersama pujaan hati. Yang seperti ini saya yakin pasti banyak yang pernah mengalaminya. Termasuk saya, tiga minggu lalu.

Tiga minggu lalu setidaknya merupakan kencan terakhir yang pernah saya lakukan dengan seseorang. Seseorang yang sempat saya cintai dan sedikit ditanami bibit harapan.

Saya pergi ke Depok sendiri dengan alasan akan menghadiri sebuah seminar. Beruntung Mama saya percaya dan membuat hati saya sedikit lega. Untuk pertama kalinya saya pergi ke Depok dan masih belum tahu tempat mana yang akan dituju. Untuk pertama kalinya pula saya menaiki kereta jurusan Jakarta – Depok sendiri dan sempat terlihat seperti  orang linglung.

“Pak satpam, kereta yang mau ke Depok yang ini bukan?”

“Pak satpam, kereta yang mau ke Depok munculnya jam berapa, sih?”

“Pak satpam, kalau ada kereta jurusan ke Depok berhenti, tolong bilangin ke saya, ya.”

Saya sendiri agak takut kalau nantinya akan tersesat. Beruntung si satpam mau menolong saya.

Sebelumnya saya pernah berkata kepada ‘incaran’ kalau saya ingin berkunjung ke Depok dan berencana akan mentraktirnya sepiring French Fries kesukaannya. Untuk menghapus rasa ‘gede rasa’ si ‘incaran’, saya beralasan, “Gue ke Depok sekalian mau liputan. Selesai liputan rencananya pengen banget jalan. Temenin, ya. Lo kan anak Depok, biar gue nggak kayak orang bego nih di sana.”

Si ‘incaran’ pun tidak menolak. Hati saya sungguh senang.

Di hari yang cerah itu, saya dan dia bertemu di sebuah mal. Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di mal yang berada di Depok dan rasanya, ya, tidak ada bedanya dengan mal-mal yang ada di Jakarta. Awal pertemuan kami berada di sebuah restoran lokal. Saya mentraktirnya sepiring French Fries yang sayangnya ternyata dihabiskan oleh saya sendiri.

“Duh, gue pengen banget nonton Insidious 2. Tapi pas gue cek ke bioskop tadi, ternyata ramai,” kata saya ketika mengungkapkan hasrat ingin menonton film ke padanya.

“Mau nonton? Yuk! Gue juga pengen, deh,” jawabnya seraya mengajak. Saya terkejut. Nonton berdua? Apa dia tidak merasa canggung?

Kita lalu segera beranjak dan naik ke lantai teratas. Ramai sekali hari itu, mungkin karena bertepatan dengan hari Sabtu. Melihat ruangan dengan jam tayang yang diinginkan sudah penuh, akhirnya kita segera turun ke bawah dan berencana untuk berkaraoke bersama. Sayang sekali ruang karaoke sudah penuh. Akhirnya kita kembali ke loket bioskop dan membeli tiket nonton pada jam malam.

“Vin, kita nontonnya malam, loh. Lo bukannya ada janji dengan orang nanti? Lagi pula rumah lo kan di Jakarta, pulangnya bagaimana?” tanya dia dengan raut muka agak cemas.

“Sudahlah, santai saja. Gue nggak jadi janjian dengan orang itu, katanya lagi sibuk. Jadi kita sekarang jalan sajalah,” jawab saya penuh kebohongan. Padahal sebenarnya saya ke sana memang ingin jalan berdua dengannya. Perihal ingin janjian dengan orang lain pun hanya alasan saya saja agar dia tidak ‘gede rasa’.

Beruntung, tiket nonton Insidious 2 saya ternyata dibayari olehnya. Dia tidak meminta penggantian. Katanya, “Nggak apa-apa, sesekali mentraktir.”

Saya tersenyum melihat keikhlasannya yang mau membayari saya menonton. Padahal saya yang mengajak dia untuk menemani jalan dan tidak menduga kalau pada akhirnya dia mengajak saya menonton film berdua. Walau terpaksa kita menonton di bangku paling depan.

“Terimakasih ya, Kak. Akhirnya malam minggu gue nggak suram.”

“Nggak apa-apa, Vin. Gue juga terimakasih karena lo mau menemani gue di malam Minggu yang biasanya suram. Biasanya sih malam-malam minggu kemarin gue di rumah aja, tuh.”

Kami saling berpandangan. Getaran cinta di dada saya semakin menguat.

Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun