Cinta adalah tema universal yang telah menjadi bahan diskusi dalam filsafat, psikologi, dan seni selama berabad-abad. Dalam karya Erich Fromm, seorang filsuf dan psikolog sosial, cinta tidak hanya dipahami sebagai emosi spontan tetapi juga sebagai seni yang membutuhkan latihan, dedikasi, dan pemahaman mendalam. Melalui bukunya yang terkenal, The Art of Loving, Fromm mengajarkan bahwa cinta sejati memerlukan kemampuan untuk memberi, memahami, dan menerima, sekaligus menuntut usaha sadar untuk berkembang sebagai individu yang mencintai.
      Fromm menyatakan bahwa cinta terdiri dari empat elemen utama: perhatian (care), tanggung jawab (responsibility), penghormatan (respect), dan pemahaman (knowledge). Elemen-elemen ini, menurutnya, adalah dasar bagi cinta yang otentik dan sehat. Cinta bukanlah sesuatu yang datang secara pasif, melainkan sesuatu yang harus diusahakan secara aktif. Hal ini sejalan dengan konsep Abraham Maslow, yang menyebutkan bahwa cinta adalah kebutuhan psikologis yang berkembang setelah kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Dalam konteks ini, Fromm dan Maslow sama-sama melihat cinta sebagai komponen penting dalam aktualisasi diri.
      Salah satu konsep unik Fromm adalah pandangannya bahwa cinta tidak dapat dipisahkan dari kebebasan. Ia menyatakan bahwa cinta sejati tidak melibatkan dominasi atau ketergantungan, tetapi justru menghargai individualitas kedua belah pihak. Perspektif ini dapat dibandingkan dengan teori Carl Rogers, yang menekankan pentingnya penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) dalam hubungan yang sehat. Bagi Rogers, seperti halnya Fromm, hubungan cinta yang mendalam hanya dapat terjadi jika setiap individu merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri.
      Fromm juga mengkritik pandangan materialistis dan individualistis dalam masyarakat modern yang sering kali menganggap cinta sebagai sesuatu yang instan atau berbasis kebutuhan. Sebaliknya, ia percaya bahwa cinta adalah bentuk keberadaan yang aktif dan kreatif. Ini sejalan dengan pandangan Victor Frankl, yang berpendapat bahwa cinta adalah salah satu cara utama bagi manusia untuk menemukan makna hidup. Bagi Fromm, cinta yang sejati membawa makna dan kebahagiaan yang melampaui kepuasan diri semata.
      Dalam perspektif psikologi evolusioner, cinta sering kali dilihat sebagai mekanisme biologis untuk memastikan reproduksi dan kelangsungan hidup. Namun, Fromm menawarkan perspektif yang lebih humanis. Ia percaya bahwa cinta tidak hanya tentang reproduksi atau kepuasan emosional, tetapi juga tentang menciptakan hubungan yang mendalam dengan orang lain dan dunia. Pandangan ini memperluas pemahaman kita tentang cinta sebagai fenomena kompleks yang melibatkan dimensi biologis, psikologis, dan spiritual.
      Seni mencintai, menurut Fromm, juga memerlukan kedewasaan emosional. Ia menekankan bahwa seseorang harus mampu mencintai dirinya sendiri untuk benar-benar mencintai orang lain. Ini bukan berarti egois, tetapi mencakup penerimaan diri yang sehat, seperti yang juga dikemukakan oleh Nathaniel Branden, tokoh psikologi yang mendalami konsep harga diri (self-esteem). Penerimaan diri memungkinkan seseorang untuk mencintai tanpa rasa takut atau rasa tidak aman.
      Dari perspektif Fromm, cinta adalah seni yang membutuhkan kesadaran, disiplin, dan pemahaman. Ini bukan hanya tentang perasaan atau emosi, tetapi juga tindakan nyata untuk membangun hubungan yang bermakna dan otentik. Dengan belajar mencintai dalam kerangka kerja yang ditawarkan Fromm, kita dapat memperdalam hubungan dengan orang lain, menghormati kebebasan mereka, dan menemukan makna yang lebih besar dalam hidup kita.
Referensi:
Fromm, E. (1956). The Art of Loving. Harper Perennial Modern Classics.
Maslow, A. (1954). Motivation and Personality. Harper & Row.
Rogers, C. (1961). On Becoming a Person: A Therapist's View of Psychotherapy. Houghton Mifflin Harcourt.