Mohon tunggu...
irvan setyawan
irvan setyawan Mohon Tunggu... -

Lokasi tepatnya adalah kota batulicin, sekitar 20 menit dengan pesawat dari Banjarbaru atau 5-6 jam perjalanan darat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Poros Maritim: Mimpi atau Kenyataan?

29 Mei 2015   15:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:28 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Perhatikan kata-kata Anda, dia akan menjadi tindakan. Perhatikan tindakan Anda, dia menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaan Anda, dia menjadi karakter. Perhatikan karakter Anda, itu akan menjadi takdir Anda.”

-Lao Tse-

Jujur saja saya suka sekali melihat peta dunia. Dari kecil kegemaran saya adalah mengenal negara-negara di dunia dan mengetahui letaknya di dalam peta. Sambil berkhayal mengunjungi negara-negara tersebut—terutama Negara-negara Eropa dan Mesir—pikiran saya bergerak menyusuri tapak-demi tapak batasan Negara.

Tahun demi tahun berlalu, dan setelah akhir-akhir ini perhatian saya terampas oleh ‘brain games’-nya National Geographic, tiba-tiba kesadaran itu datang ke saya: Perspectives do their tricks on our brains. Tunggu dulu! Benarkah? Saya harus meyakinkan diri, dan untuk itu saya perlu melakukan sedikit eksperimen. Ya, eksperimen. Tidak yang luar biasa, cukup menggeser perabot rumah, atau merubah kebiasaan saya sedikit. Setelah melalui beberapa eksperimen, terpaksa harus saya katakan kalau perspektif dapat menipu, itu bener. Bener banget.

Saya gak pernah berpikir bahwa merubah perspektif dapat mengubah takdir, kecuali ucapan Lao Tse yang menghantui pikiran saya seperti panah-panah yang menghujam di otak:

“Perhatikan kata-kata Anda, dia akan menjadi tindakan. Perhatikan tindakan Anda, dia menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaan Anda, dia menjadi karakter. Perhatikan karakter Anda, itu akan menjadi takdir Anda.”

This is interesting, yet scary—Menyenangkan sekaligus menakutkan.

Kata-kata adalah buah pikiran. Saya gak akan membicarakansecara rinci bagaimana kerja otak, karena ini bukan domain saya. Yang saya tahu bahwa benda rapuh ini merupakan maha karya sang Pencipta: Canggih tanpa cela. Otak dapat dianalogikan sebagai GPS pada kendaraan, kecuali dia jutaan atau milyaran kali lebih canggih: Kita hanya perlu bilang mau ke mana, segala informasi diproses, dan voila! Kita dapat petunjuk jalan paling efisien dan paling efektif—tergantung seberapa banyak informasi yang di dapat. Artinya, cara paling efisien dan paling efektif adalah sesuai info yang diperoleh, artinya lagi, efektif dan efisien gak melulu efektif dan efisien bagi orang lain.

Balik ke soal peta dunia, dari dulu hingga sekarangsaya selalu melihat peta dunia dalam tata letak serta komposisi seperti di atas, ajeg, alias gak berubah: Benua Eropa berada di tengah, amerika di pojok kiri dan Indonesia di pojok kanan, bersama Australia, Selendia Baru dan negara-negara kepulauan di pasifik. Peta yang selama ini kita nikmati adalah peta yang dibuat oleh bangsa Eropa yang sudah berabad-abad lalu menguasai perairan dunia. Letak dan komposisi peta jelas-jelas menggambarkan tujuan dan posisi yang ingin diraih mereka dalam percaturan ekonomi dan geopolitik, itulah sebabnya mereka berbaik hati berbagi peta yang mereka buat (mereka perlu berbagi pemikiran yang sama dengan dunia untuk tujuan tersebut).

Karena peta itulah, dulu saya selalu berpikir ‘ketegangan’ Rusia dan Amerika gak masuk akal, seperti halnya bagaimana dulunya Rusia menguasai Alaska sebelum dijual ke Amerika: mereka terpisah jauh, seperti dua dunia yang berbeda (padahal bersebelahan). Hanya karena peta pula, posisi eropa yang berada di tengah menjadikannya pusat perhatian. Kenyataannya pun demikian, eropa menjadi benua paling penting. Amerika menempatkan sebagian besar kepentingannya di sana, tidak hanya amerika sebenarnya, seluruh benua berpikir begitu. Sehat atau sakitnya benua biru adalah sehat atau sakitnya dunia. Itulah mengapa PBB dan banyak organisasi-organisasi dunia bermarkas di sini. Eropa mendapat perhatian lebih dari seharusnya, hanya karena kita berbagi peta yang sama.

Kini, setelah 70 tahun merdeka (nanti tanggal 17 Agustus 2015) kita mulai resah dan berpikir bagaimana memandang posisi ‘Indonesia’ di dunia, terutama setelah presiden menyatakan tujuannya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. Poros berarti pusat. Posisi ini jelas-jelas menentang konsesus tata letak peta yang kita kenal sekarang. Sudah gilakah presiden kita? Lantas apa urgensinya merubah konsensus tersebut—minimal dalam diri bangsa kita?

Sebagai bangsa, kita memiliki wilayah yang dianggap sebagai ‘rumah’ tempat kita tinggal. Rumah—masih dengan analogi yang sama—haruslah layak huni, fungsional, dan indah agar dapat menjamin kesejahteraan penghuninya. Kesejahteraan berkorelasi pada ketinggian peradaban, maka bangsa Indonesia perlu mengetahui potensi terbesar ‘rumah’-nya agar tujuan kesejahteraan dan kemakmuran dapat tercapai.

Sebenarnya orang yang tinggal di Indonesia adalah mereka yang ‘terpaksa’ tinggal di sini. Hal ini juga berlaku buat semua penduduk dunia, karena kita gak punya pilihan untuk lahir di mana dan dari rahim siapa. Namun setelah itu kita punya pilihan untuk tetap tinggal atau pindah ke ‘rumah lain’ dengan segala konsekuensinya. Bagi mereka yang memutuskan tinggal, perkembangan ‘sekeliling kita’ dan pengalaman hidup membuat kita berpikir ulang tentang tempat tinggal kita; apakah rumah kita sudah benar-benar memanfaatkan ‘kekayaan’ alamiahnya? Apakah kekayaan alamiah itu cukup besar sehingga kita bersedia merubah ‘bentuk’ rumah agar dapat memaksimalkan potensi?

Sayangnya, cara pandang kita terhadap potensi rumah, sangat bergantung pada sudut pandang. Coba perhatikan peta di atas. Benua eropa (dan afrika sebagai daerah koloni) berada di tengah-tengah peta dan langsung menyedot sebagian besar perhatian kita. Hanya sebagian kecil kemudian, perhatian kita tertuju pada Indonesia (itupun, hanya karena kita orang Indonesia). Dengan demikian Eropa—disadari atau tidak—menjadi magnet, pusat gaya tarik, atau gravitasi perhatian. Sementara Indonesia yang ada di pojok peta, terasa terpinggirkan dan hanya sebagai pelengkap. Menyedihkan ya? Tapi itulah yang terjadi. Semakin hari pengetahuan kita berkembang menjadi kepercayaan, tindakan, dan kebiasaan yang membentuk takdir kita hingga hari ini: Tidak seberapa penting dan hanya sebagai pelengkap.

1432888112763859676
1432888112763859676

Tapi coba perhatikan peta kedua. Di peta tersebut, Indonesia berada tepat di tengah-tengah, yang menjadikannya ‘pusat’ alias poros. Apa yang kita temukan? Sebuah rumah dengan alamat yang amat strategis dan menakjubkan! Indonesia adalah sebuah episentrum, poros atau pusat pertemuan banyak hal, terutama laut. Ia berada tepat di bawah garis katulistiwa yang memiliki cuaca yang selalu hangat. Matahari bersinar sepanjang tahun, dengan sediaan hasil bumi yang stabil termasuk hasil laut yang melimpah. Di sini juga menjadi pusat pertemuan dua samudera dan dua benua, seperti halnya garis wallace mengkategorikan pengaruh asia dan Australia dalam hal flora dan fauna. Juga merupakan pintu gerbang bagi banyak pelayaran dunia (bahkan 20 % pelayaran kargo dunia melalui selat malaka).

Dengan peta baru ini, dapat dikatakan kalau Indonesia menjadi bagian dunia yang penting, bahkan teramat penting, karena letaknya yang berada di pusat gravitasi, menghubungkan dua samudra dan dua benua. Cara pandang baru ini tentu membuka mata saya (semoga Anda juga), bahwa ada ‘harta karun’ terpendam yang menjadi rebutan banyak negara (gak mengherankan banyak negara berusaha menguasai Indonesia). Kekayaan berbentuk lokasi strategis ini, selama berabad-abad ‘tersembunyi, hanya gara-gara kita terpesona oleh peta yang dibuat pengelana eropa.

Sekarang, dapat saya katakan di sini kalau presiden kita bukanlah orang gila. Karena menjadikan Indonesia sebagai poros maritim adalah sebuah pemikiran bijaksana yang melandaskan tujuan pembangunan pada potensi alami yang dimiliki bangsa ini. Setiap bangsa memiliki potensi alami, namun hanya yang paham dan mampu memaksimalkannya, yang dapat mencapai kemajuan dan peradaban yang gemilang.

Bila poros maritim memang benar-benar ingin diwujudkan, maka apakah kita memiliki keberanian untuk menggunakan peta kedua yang dijadikan acuan dalam segala aspek berbangsa?

Renovasi besar Indonesia dan revolusi mental takkan pernah terjadi bila kita tidak mengubah sudut pandang. Indonesia terlalu besar untuk dipinggirkan. Siapa yang setuju?

Sumber peta: Maps of World

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun