Hanya dalam hitungan hari, Indonesia akan menghadapi pemilu. Berita soal pemilu bahkan sudah memanas sejak satu setengah tahun lalu. Tapi, apakah kita bersiap untuk menyongsong perhelatan demokrasi besar tersebut?
Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam perjalanannya menuju negara demokrasi. Lima belas tahun Indonesia bertransformasi, selama lima belas tahun itu pula Indonesia menunjukkan kerja keras. Menjadi negara demokratis terbesar ke-3 di dunia adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Namun apakah suara rakyat—suara kita—sudah menjadi suara Tuhan di negeri ini?
Tentu saja, dalam demokrasi kita mengenal istilah wakil rakyat. Wakil-wakil rakyat ini bakal bermusyawarah untuk mencapai sebuah konsensus—muara dari jutaan suara rakyat. Apakah kemudian konsensus ini akan menjadikan Indonesia lebih baik atau lebih buruk dalam 5 tahun ke depan? Tentu kita tidak bisa melihatnya sekarang.
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah soal keterwakilan. Apakah para wakil rakyat kita sudah menjalankan perannya sehingga kita merasa terwakili? Warga negara bisa saja golput lantaran suaranya tak terwakilkan atau dikhianati. Mengapa bisa demikian?
sedikit banyak, peran wakil rakyat sangat dipengaruhi oleh ‘pola pikir’ yang mereka miliki. Ketidaksingkronan pola pikir antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili menjadi penyebab ketidakpuasan dan menimbulkan gelombang golput. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia; bahkan Amerika yang digadang-gadang sebagai negara termaju soal demokrasi pun menghadapi hantu ini. Tapi kita tidak akan membandingkan demokrasi Indonesia dengan negara lain. Demokrasi Indonesia sangat unik, karena kita memiliki tujuan sendiri dalam bernegara.
Berbicara mengenai pola pikir, alangkah baiknya kalau kita sebagai pemilik negara—warga Negara Indonesia—bisa memahami betul sejarah dibentuknya negara ini. Kemerdekaan yang kita rasakan sekarang adalah sebuah proses panjang yang diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa—tak peduli suku, agama, ras, ataupun jenis kelamin. Sebenarnya kemerdekaan bukanlah satu-satunya tujuan, karena kemerdekaan hanyalah sebuah pintu yang akan menghantarkan Indonesia kepada tujuan yang sebenarnya: Indonesia yang makmur, bersatu, beradab, dan berkeadilan. Sebuah tantangan besar bagi generasi-generasi berikutnya; PR yang belum terselesaikan, dan juga sebuah arah perjuangan.
Para founding Fathers kita telah menentukan tujuan serta cita-cita yang besar bagi Indonesia. Tanpa ini mustahil perjuangan kemerdekaan mereka membuahkan hasil. Sementara kerangka persatuan menjadi harga mati yang tidak dapat ditawar. Kemerdekaan Indonesia menjadi bukti nyata bahwa cita-cita besar perlu ditopang oleh semangat kebersamaan dan gotong royong.
Namun dalam perjalanan 68 tahun kemerdekaan, apakah seluruh cita-cita mereka sudah terpenuhi? Apakah kita sudah benar-benar bersatu?
Bila kita menilik keadaan Indonesia saat ini tentu saja kondisinya masih jauh dari apa yang telah dicita-citakan. Proses kehidupan berbangsa setelah kemerdekaan telah menempatkan warga Indonesia dalam sekat-sekat. Persatuan dan gotong royong tidak lebih dari sekedar slogan. Pembangunan fisik digalakkan untuk mengejar pertumbuhan, namun jurang ketimpangan terus melebar (ini memang bukan masalah bagi Indonesia saja). Parahnya, puluhan tahun hasil bumi ditambang; pemerataan tak didapat, malah kini rakyat harus menanggung bencana akibat tata kelola lingkungan yang serampangan.
Kita memang tak mungkin terus menerus memikirkan masa lalu dan mengarahkan telunjuk siapa yang paling bertanggung jawab; proses yang hanya membuang waktu dan membuat kita semakin tertinggal. Kita harus menanggalkan keinginan untuk menonjol dan menang sendiri; ekslusifitas sudah sangat usang. Di negara-negara maju hal ini semakin ditinggalkan. Tengok saja anak-anak muda Jepang yang sudah meninggalkan keinginan memiliki mobil pribadi. Semangat kebersamaan (inklusifitas dengan azas egaliter) dan gotong royong membawa pada tujuan bersama yang pada gilirannya terpenuhi tujuan individu. Mustahil tujuan individu tercapai tanpa dipenuhinya tujuan kolektif (merdeka dulu, baru terpenuhi kebutuhan individu yang layak seperti sandang, pangan, dan papan).
Maka apa yang pernah dikatakan oleh John F. Kennedy menjadi sangat relevan dalam perjuangan Indonesia saat ini: “Jangan tanyakan apa yang dapat negara lakukan untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kau lakukan untuk negara.”
Ini adalah pola pikir yang harus dimiliki kita semua, termasuk para wakil rakyat kita di parlemen.
Memang semuanya butuh proses, namun proses dapat dipercepat bila kita memiliki katalis: Yakni pemimpin dan wakil rakyat yang memahami betul apa dan bagaimana rakyat dan bangsa Indonesia dulu, sekarang, dan yang akan datang. Yakni pemimpin dan wakil rakyat yang penuh integritas dan memiliki watak pengabdian. Pemimpin yang menebar semangat inklusif dan egaliter; bukan mereka yang duduk di dalam menara gading tanpa mempedulikan kesulitan yang dihadapi rakyatnya.
Saya yakin seluruh rakyat Indonesia ingin melihat Indonesia yang modern, bersatu, makmur merata, dan berwibawa.
Tugas kita di tahun 2014 ini adalah memastikan bahwa wakil dan pemimpin kita yang dapat mewujudkan hal tersebut. Suara kita—setiap diri kita—sangatlah berharga. Karena dari suara kita tersebut, nasib anak cucu dan wajah Indonesia ditentukan. Mari kita berjalan menuju TPS dan gunakan nurani untuk memilih untuk Indonesia yang lebih baik.
Jadi, sudah siap ya, menggunakan hak suaranya dengan bijak?
Sumber ilustrasi:
http://adibsusilasiraj.blogspot.com/2012/06/to-build-world-new-3.html
http://bipmedia.blogspot.com/2013/07/cek-online-daftar-pemilih-pemilu.html
http://www.sidetek.in/2013/01/tips-penting-dilakukan-ketika-banjir.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H