Hampir semua ekonom dan ulama dunia sepakat bahwa keuangan islam merupakan solusi yang tak terbantahkan dalam menyelesaikan sembrautnya masalah sistem keuangan dunia. Keuangan islam menawarkan berbagai jenis instrumen yang bisa dijadikan alternatif bahkan solusi dalam bertransaksi keuangan. Dalam islam, prinsip utama yang harus dimiliki dalam setiap transaksi keuangan adalah prinsip halal. Secara prinsip tidak ada satupun dalil yang menyanggahnya. Namun, berdasarkan kehalalannya, saat ini secara umum kita bisa kelompokkan instrumen keuangan syariah menjadi dua, yaitu clearly halal dan unclearly halal. Beberapa instrument di level ijma’ jelas kehalalannya seperti mudharabah dan murabahah. Akan tetapi, ada beberapa instrumen keuangan yang masuk dalam isu kontroversial, sehingga di tingkat kesepakatan ulama belum jelas kehalalannya, seperti Bay’ Al-’Inah (penjualan dan pembelian kembali) dan tawarruq.
Bay’ Al-’inah menurut ulama klasik adalah suatu situasi ketika seseorang menjual suatu komoditas kepada orang lain dengan harga tertentu, disertai pembayaran yang ditunda hingga suatu tanggal yang sudah ditetapkan, lalu ia membeli kembali komoditas tersebut dari orang tersebut dengan harga yang lebih rendah secara tunai, sehingga terkesan seperti pinjaman dalam bentuk penjualan untuk menjadikan kenaikan nominalnya tampak sah. Dalam kajian fiqh,perbedaan pendapat para ulama adalah hal yang wajar dan tak dapat dihindari. Namun terkait maslah ini, Dewan Penasihat Syari’ah Bank Negara Malaysia (BNM) dalam konferensi tanggal 12 Desember 1998, setuju bahwa keberatan-keberatan terhadap bay’ Al-’inah itu dapat diterima asalkan memenuhi dua syarat.
Pertama, mekanisme yang dipraktikkan dapat diterima menurut mazhab-mazhab syafi’i. Kedua, jenis barang yang ditransaksikan bukanlah jenis barang ribawi. Biarpun demikian, Dewan Penasehat Syari’ah Malaysia tentang Bay’ ‘Al-’inah mengakui suatu fakta bahwa isu tersebut masih merupakan persoalan ketidaksepakatan para ulama, yang disandarkan dengan basis justifikasi mereka sendiri-sendiri. Konsekuensinya, pada dialog ulama regional Malaysia tanggal 29 Juni 2009 memutuskan bahwa konsep bay’ Al-’inahmasih diperlukan dalam konteks pengembangan keuangan islam lokal. Namun, para pemain pasar disyaratkan untuk menguatkan dan meningkatkan kualitas proses-proses dan dokumentasi operasi mereka, agar dapat memenuhi fitur-fitur bay’ Al-’inah sebagaimana diizinkan. Karena konsep bay’ Al-’inah masih dianggap sebagai persolan perdebatan hukum di antara para ulama, maka lebih diharapkan bila lembaga keuangan syariah membatasi penggunaan produk-produknya.
Walau adanya pembatasan terkait kebolehan mengeluarkan produk perbankan islam dengan konsep bay’ Al-’inah,faktanya Malaysia dan Brunei mengaplikasikan konsep ini. Para ulama di kedua negara tersebut setuju bahwa mayoritas ulama dan lembaga keuangan melarang bay’ Al-’inah,tetapi mempertimbangkan isu ini sebagai bagian dari ijtihad yang membolehkan adanya perbedaan pendapat. Dalam lembaga keuangan syari’ah di negara tersebut bay’ Al-’inahsudah diaplikasikan dalam beberapa produk keuangan islam
Dalam kasus tersebut tercermin bahwa belum ada hubungan yang bersinergi kuat antara ulama dan lembaga keuangan syariah. Kedua belah pihak masih belum memikirkan inovasi terbaik bagi berkembangkanya produk keuangan syariah masa depan. Kita sepakat bahwa harus ada area yang jelas bagi kehalalan produk, dan kita jelas tidak setuju jika dalam pengembangan keuangan syariah masih ada wilayah “abu-abu”. Diversifikasi hukum terkait produk keuangan merupakan sebuah keniscayaan dalam konsep ijtihad yang memperbolehkan adanya beragam pendapat, baik itu menghalalkan atau mengharamkan. Konsekuensi ijtihad adalah perbedaan pendapat.
Namun perlu diingat jika gap pendapat ulama dan intelektual terlalu jauh, maka akan membuat umat bingung. Oleh karena itu perlu ada sinergi dan standar yang kuat yang benar benar disepakati oleh jumhur ulama dunia dan ulama suatu wilayah tertentu. Tidak hanya bay’ Al-’inah yang mengalami polemik dalam implementasinya, masih banyak yang terus diperdebatkan hinga saat ini.
Kita tentu tidak setuju mengharamkan yang halal, atau menghalalkan yang haram. Paling tidak berdasarkan ijtihad ulama harus ada wilayah clearlyhalal dan clearlyharam, agar wilayah abu-abu tidak mengahambat perkembangan dan inovasi produk keuangan islam nasional dan dunia. Semakin banyak wilayah abu-abu dalam praktik keuangan syariah, maka akan semakin sempit ruang gerak inovasi produk keuangan islam. Kita berharap wilayah abu-abu merupakan konsekuensi dari ijtihad yang membolehkan berbeda pendapat, dan bukan suatu tanda ketidakberanian stakeholders dalam mengembangkan produk keuangan syariah dengan resiko kerugian yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H