Teori Penggantian berasumsi bahwa sapiens mengidentifikasi dirinya berbeda dengan homo lain seperti Neanderthal di Eropa. Mereka memiliki postur tubuh yang lebih besar dan pandai beradaptasi dengan cuaca dingin.
Berbeda dengan teori perkawinan silang, teori penggantian justru menegaskan hasrat primordial manusia yang menemukan ketidakcocokan bahkan disinyalir melakukan genosida terhadap homo lain.
Memang banyak sendi dalam perdebatan ini. Jika Teori Penggantian yang benar, maka semua manusia yang masih hidup secara kasar sebenarnya memiliki kesamaan bawaan genetik dari sapiens purba.
Asal-usul manusia setidaknya memberi kita gambaran untuk mengerti tentang hasrat kebencian dan ketakutan kita terhadap perbedaan. Hasrat itu diwariskan dalam gen kita selama kurang lebih ratusan tahun. Genosida, pelanggaran HAM, dan peperangan merupakan gambaran nyata genetik purba yang masih berlangsung di abad ini.
Dari berita kita juga mendengar perkelahian sesama saudara gara-gara beda pilihan, arogansi kelompok mayoritas, rusaknya keharmonisan antara tetangga, penolakan terhadap orang yang berbeda latar belakang agama, bahkan membias ke urusan makam orang mati seperti yang terjadi Yogyakarta dan Gorontalo.
Bahkan narasi kemanusiaan yang diangkat dalam kasus kematian buruh migran di luar negeri yang angkanya sangat fantastis di Propinsi NTT, malah mendapat sambutan bully, cibiran dan caci maki di media sosial.
Dari pemilu serentak 2019, kita dapat melihat dengan terang bagaimana sifat purba itu dipertontonkan dengan gamblang oleh perselisihan tajam antara kecebong vs kampret.
Watak itu juga menjadi tontonan publik yang dilakoni politisi haus makanan (Baca: Kekuasaan). Panggung politik seperti savana dan hutan tempat binatang-binatang purba saling membunuh demi mendapat makanan.
Namun sebagai makhluk yang diberikan keunggulan lebih di bidang otak (revolusi kognitif), kita seharusnya mampu mengolah hasrat bawaan itu secara bijak dan benar. Itulah sebabnya manusia disebut homo sapiens, manusia bijak. Revolusi kognisi adalah jawaban mengapa kita berbeda dengan kera, singa, harimau, keledai, ular, anjing dan binatang lainnya.
Dengan kata lain, politisi yang gemar mempertontonkan watak kebinatangannya dalam panggung demokrasi adalah 'homo' yang lamban berevolusi.
Dalam konteks berdemokrasi, kebijaksanaan manusia itu dinyatakan dalam sikap saling menerima perbedaan, saling menghargai dan menjunjung sportivitas dalam persaingan. Tanggung jawab kita sebagai 'binatang' yang berakal-budi ialah menjaga keharmonisan, kedamaian dan keutuhan makhluk ciptaan Tuhan.
Makna Kegaduhan Demokrasi
Kegaduhan demokrasi yang didukung oleh fenomena pasca-kebenaran dan era disrupsi ini juga bisa dibaca secara positif. Setelah mengalami revolusi kognisi, manusia terus melejit ke revolusi agrikultural, revolusi saintifik hingga yang paling mutakhir adalah revolusi industri 4.0.