Nampaknya, dunia mulai kepanasan. Saking panasnya, sampai-sampai mengalahkan panasnya lapisan ozon bumi yang mulai menipis. Atau dalam skala yang lebih kecil lagi, gara-gara hutang yang tak dibayar-bayar. Namun sebenarnya bukan itu dalangnya. Melainkan urgensi politisasi negeri yang mulai bermesraan dengan kabar-kabar kalengan. Atau bisa dikatakan dengan hoax kalau menggunakan  bahasa yang lebih manteb lagi.
Politisasi sekarang ini tak hanya terjadi dalam lingkup perdebatan capres dan cawapres saja. Mulai orang-orang yang secara resmi menjadi tim sukses, sampai yang hanya berlabel abal-abal pun tak luput membahas kebisingan politik dalam negeri. Tua, muda, kaya, miskin, laki-laki, perempuan semua terjangkit virus politisasi ini. walaupun toh hanya menang-menangan pendapat, unggul-unggulan paslon.
Ada yang mengatakan "paslon kami yang akan menjadi presiden" kubu samping menanggapi "Presiden kita ya paslon kami ini", yang satu tadi tidak terima "eh.. apa paslonmu itu. Capres kok seperti itu" dan satunya lagi tambah tidak terima "eh.. apa maksudmu bilang capres kita seperti itu? Heh?" dan keterusannya, anda bisa menyangka-nyangka sendiri.
Percekcokan demi percekcokan terjadi. Masalah-masalah kecil membesar. Yang tadinya teman akrab bubar berubah menjadi musuh hanya karena soal perbedaan pendapat. Itupun hanya ruang lingkup manusia dengan manusia saja. Belum yang manusia dengan Tuhan.
Seperti berita yang lagi viral-viralnya ini. Soal meminta tapi memaksa. Banyak berseleweran memenuhi dinding-dinding medsos. tapi diluar itu semua, masih banyak lagi kasus-kasus yang sedikit menyentil pemikiran untuk sekedar keheranan atau malah tertawa sambil bergumam "kok bisa yaa??".
Agaknya, Indonesia mulai kekurangan senyawa penenang. Obat peredam percekcokan mulai terkikis habis.
Dalam koridor yang sama, politik di Indonesia seakan kehilangan sisi putihnya. Yang ada hanya hitam gelap pekat. Salah satunya adalah isu-isu hoax ada dimana-mana. Tersebar dari mulut kemulut. Telinga ke telinga. Dan bermuaralah semuanya dimedia sosial. Akun-akun tak dikenal mulai bermuculan. Mengepost berbagai isu politik. Menjelek-jelekan kubu seberang.
Hoax pun menyebar aksi. Mulai menjalar menuju tujuannya. Dan tak dapat dipungkiri, orang awam yang tak tahu menahu soal politik negeri, gampang sekali terpengaruh hal-hal yang belum pasti. Percaya saja dengan berita kekerasan yang menimpa gara-gara kampanye. Tau-taunya, hanya karena jatuh dari sepeda.
Sah-sah saja bagi kita yang memang lebih teliti dalam melihat debat capres dan cawapres kemaren. Menonton  dari awal hingga akhir. Dan semuanya akan terlihat jelas sejelas-jelasnya. Bahkan dapat disimpulkan pemahaman yang selaras dengan kenyataan yang ada.
Namun realitanya, media informasi pun masih berpihak. Tidak usah jauh-jauh membahas soal akun bayangan, dinding-dinding medsos atau semua hal yang berbau internet. Televisi yang jangkauannya lebih mengena bagi masyarakat pun masih condong sebelah. Siaran debat capres dan cawapres kemaren saja kalau di lihat lebih jeli lagi. Di stasiun televisi ini, paslon X diunggul-unggulkan. Di stasiun televisi itu, paslon Y lebih diunggul-unggulkan.Â
Dampaknya sangat besar bagi masyarakat awam. Apalah daya, orang yang tak tahu apa-apa. Hanya meneguk siaran cuplikan di salah satu stasiun televisi yang memang berat sebelah. Condong ke paslon X ataupun ke paslon Y. Jadilah pemahaman masyarakat awam menjadi tak karuan. Tak selaras dengan realita keadaan yang ada.