Sebagai anak muda yang lahir di pangkuan ibu pertiwi, pasti kita menerka dan meramal akan jadi apa Indonesia di masa depan. Tidak ada maksud menjatuhkan atau mengarah pada suatu lembaga. Bagi saya, opini adalah hak seseorang mengekspresikan pendapatnya baik bersifat membangun atau tidak.
Jadi begini ceritanya, di suatu malam dengan kopi hangat tersedia di samping laptop, saya berselancar di dunia maya. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sebuah berita yang bertuliskan salah seorang menteri meminta Rini Sumarno mencopot Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia, Arif Wibowo. Alasannya? Sepele sekali, trigger-nya karena sang menteri telat datang ke bandara, namun dialihkan ke jadwal lain dan pesawatnya mengalami delay.
Kronologisnya pesawat berangkat pukul 08.05 namun sang menteri datang ke bandara pukul 08.00 tepat. Alhasil karena tidak mungkin menunda penerbangan, sang menteri dijadwalkan mengikuti penerbangan ulang pukul 10.00.
Sayangnya, setelah mengikuti penerbangan lain buah ketelatannya, ia mendapat delay 1,5 jam dari maskapai pelat merah itu. Ia kembali mencak-mencak menyuruh Menteri BUMN itu mencopot direksi PT Garuda Indonesia.
Padahal, dari penelusuran saya, pesawat garuda tersebut mengalami delay karena gangguan teknis. Dan setahu saya traffic Bandara Adisutjipto Yogyakarta saat pagi memang cukup padat menyebabkan holding pesawat cukup lama. Bagi yang sering terbang ke sana pasti pernah mengalaminya.
Hingga tulisan ini ditulis, saya harap hal konyol yang dilakukan menteri itu tidak benar-benar dikabulkan. Setidaknya jika dikabulkan, profesionalisme sang menteri patut dipertanyakan.
Jauh dari permasalahan telat, kita beralih ke masalah kesehatan. Ingatkah kita dengan Dokter Warsito, peneliti sekaligus pendiri perusahaan PT Edwar Technology, perusahaan yang bergerak di bidang produksi helm dan rompi pembasmi kanker.
Setelah perusahaannya ditutup oleh Kementerian Kesehatan dan membuat Warsito mem-PHK 100 karyawannya, ia berencana menjalin kerjasama dengan negara Singapura. Alasannya? Singapura akan mendanai risetnya yang tergolong sangat mahal. Rompi dan helm pembasmi kankernya pun kini tengah diperdebatkan label buatannya. Apakah akan menggunakan label buatan Indonesia atau Singapura.
Saya tidak mempermasalahkan label mana hasil penelitiannya berasal. Walau dari segi bisnis jika labelnya akan tercantum nama made in Singapura tentunya negeri merlion itu yang akan mendapat uang dari penjualan hasil penelitian Warsito.
Saya hanya menyayangkan kenapa Indonesia baru kebakaran jenggot ketika Warsito melakukan hal ini. Padahal, investasi dalam bidang kesehatan adalah investasi tergolong mahal namun mempunyai jangka manfaat yang panjang.
Setelah membahas menteri terlambat dan penelitian kanker orang Indonesia yang dihentikan, kita kembali kepada tumpuan masa depan bangsa Indonesia, mahasiswa. Tentunya Indonesia 25-30 tahun ke depan pasti akan dipimpin oleh mahasiswa yang sedang mengenyam ilmu ini.