Di Indonesia sendiri, upaya kolaborasi tersebut diwujudkan sebagai Kebijakan Sektor Komunikasi dan Informatika Terkait e-Pemerintah dalam RPJMN 2015-2019 dengan model penyampaian dibuat dalam bentuk: Government-to-Government (G2G), Government to Community (G2C), overnment to Business (G2B) dan Business to Business (B2B).
Transformasi digital dalam pelayanan kesehatan membolehkan penderita buat mempunyai harapan hidup yang lebih panjang, memperoleh area yang lebih sehat, serta kehidupan yang lebih produktif. Bersumber pada informasi dari PERSI, selama tahun 2015 telemedicine sudah diakses oleh lebih dari satu juta penduduk.Â
Angka ini bertambah secara signifikan di tahun 2018, dimana jumlah penduduk yang mengakses telemedicine sudah menggapai 7 juta orang. Layanan telemedicine yang telah mulai terkenal di golongan warga ini menampilkan kalau digitalisasi layanan kesehatan membolehkan para penduduk yang tinggal di zona terpencil buat dapat mengakses pelayanan kesehatan yang setara serta bermutu.Â
Sebagian sarana kesehatan di Indonesia memanglah sudah berupaya buat melaksanakan digitalisasi, misalnya telemedicine, SIMRS (Sistem Data Manajemen Rumah Sakit), SISRUTE (Sistem Data Referensi Terintegrasi), sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang bisa diakses secara mobile lewat aplikasi, serta e- medical report.Â
Tetapi, dalam perkembangannya, inovasi- inovasi ini belum didukung oleh regulasi yang jelas serta menunjang kenaikan mutu layanan kesehatan untuk warga Indonesia.
Proses integrasi informasi pelayanan kesehatan yang lebih simpel, tampaknya mempunyai banyak tantangan. Banyaknya aplikasi kesehatan yang terbangun oleh pemerintah pusat, wilayah, ataupun pihak swasta jadi tantangan dalam mengarah integrasi sistem informasi kesehatan.Â
Aplikasi yang sepatutnya mempermudah serta bisa tingkatkan pelayanan kesehatan malah memunculkan permasalahan baru, semacam tersebarnya informasi di bermacam aplikasi yang terdapat serta mempunyai standar yang berbeda- beda sehingga tidak gampang diintegrasikan serta kurang dapat dimanfaatkan.Â
Bersumber pada hasil pemetaan dikala ini ada lebih dari 400 aplikasi kesehatan dibentuk ataupun dibesarkan oleh pemerintah pusat serta wilayah.Â
Jumlah tersebut bisa meningkat banyak bila ditambahkan dengan aplikasi aplikasi khusus, baik yang terbuat oleh pihak ketiga ataupun yang terbuat oleh institusi kesehatannya itu sendiri. Permasalahan digitalisasi kesehatan yang yang lain terjalin kala ditemuinya banyak informasi kesehatan yang masih terdokumentasi secara manual.Â
Informasi kesehatan di sebagian wilayah masih terdokumentasi memakai kertas serta tidak terintegrasi secara digital.
Menurut Bappenas (2018) kendala utama dalam sistem informasi kesehatan yang ada saat ini adalah aplikasi dan sistem pelaporan yang belum terintegrasi. Di tingkat pusat sendiri, kementerian kesehatan memiliki 207 sistem informasi kesehatan yang tersebar di berbagai unit, dimana hal tersebut dapat menimbulkan potensi multi entry serta meningkatkan beban administrasi di tingkat fasilitas kesehatan.Â