Iuran OJK menuai protes berbagai kalangan industri keuangan perbankan dan non perbankan . Iuran jalan terus , sementara tidak ada jaminan kinerja OJK Â lebih baik dari masa pengawasan dibawah BI dan Kementerian Keuangan . Bahkan OJK dinilai gagal melakukan pengawasan terhadap industri keuangan. Sejumlah kasus penggelapan, investasi bodong dan aji mumpung (moral hazard) Â terus terjadi.
Iuran OJK diamanatkan oleh Undang Undang OJK Â pasal 37 bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK . Pungutan adalah penerimaan OJK. Â OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan secara akuntabel dan mandiri. Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke kas negara.
Selain boleh melakukan pungutan diluar APBN  penggunaannya dikecualikan dari  standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa dan sistim remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan APBN , pengadaan barang dan jasa pemerintah dan sistim remunerasi (pasal 35 ayat 2) .
Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan  diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014.
Prof. Anwar Nasution menyebut potensi permasalahan penyatuan lembaga pemeriksa lembaga keuangan dalam satu badan seperti OJK. Diantaranya dapat memicu politisasi atau masuknya kepentingan tertentu dalam kerangka pengaturan dan pengawasan industri keuangan yang pada hakikatnya bersifat teknis  ( Kompas 8/3/2012).
Kasus-kasus penggelapan  dan penipuan perbankan dan keuangan  kerap terjadi , sementara OJK melakukan pungutan yang  pada akhirnya menjadi beban nasabah tanpa diimbangi dengan jaminan rasa aman. OJK dilengkapi dengan fungsi perlindungan konsumen dan auditor, tetapi tidak  memberikan jaminan bahwa konsumen mendapat perlindungan semestinya.
Berbeda misalnya dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memungut premi dari perbankan, tetapi ada jaminan bagi nasabah simpanannya di bank diganti oleh LPS. Sebaiknya OJK Â tidak memungut dari perbankan, tapi bisa meminta kepada LPS saja sebagian premi yang disetor oleh industri perbankan, toh jika OJK bekerja dengan baik mengawasi bank, maka tak ada bank yang perlu lagi ditalangi oleh LPS. Apalagi perhitungan premi LPS dianggap sudah memberatkan dan tidak fair.
Ada juga yang meminta agar jika pungutan yang melebihi kebutuhan OJK sebaiknya dikembalikan lagi untuk pemberian insentif kepada industri agar pungutan tahun berikutnya dapat diturunkan, karena OJK masih mempunyai dana untuk operasional. Tapi  sulit berharap  ada kelebihan, apalagi dikatakan bahwa pungutan sudah minim, bahkan dikatakan  paling murah dibandingkan negara-negara lain.Â
Pungutan yang tak memikirkan geografis daerah  juga menjadi sorotan. Seharusnya daerah-daerah yang masih belum tersentuh oleh perbankan mendapat insentif,  tidak  dipukul rata dalam pembebanan biaya perijinan. Ini bisa kontraproduktif dengan upaya meningkatkan inklusi keuangan bagi masyarakat kita yang masih rendah .
OJK boleh berdalih bahwa sektor lain juga melakukan pungutan diluar pajak seperti iuran atau retribusi hasil hutan , namun jelas  dan nyata  dirasakan pemanfaatannya bagi masyarakat
Dalam keadaan mentalitas birokrasi gemar  menghabiskan anggaran sebagai ukuran kinerja tanpa memperdulikan efektivitas hasil, sangat naf membayangkan setoran ke kas negara didasari oleh ukuran ukuran yang transparan dan akuntabel.