Usai Pilpres kemarin Rabu 9/7/2014 membuka kotak pandora yang selama ini sudah disuarakan oleh publik tentang netralitas media TV.
Sudah sejak dua tahun menjelang perhelatan pemilu legislatif dan pemilu presiden di tahun politik ini, media TV digunakan sebagai sarana kampanye bagi partai tertentu atau capres tertentu untuk meraih seluas mungkin populeritas dan elektabilitas publik .
Simak misalnya bagaimana masiv nya liputan Metro TV setahun menjelang pemilu legislatif untuk meliput acara Partai NASDEM dari Sabang sampai Merauke. Bagaimana TV One meliput kegiatan dan acara Aburizal Bakrie dengan Golkar nya untuk mendongkrak ARB sebagai calon presiden Partai Golkar.
Bagaimana MNC grup milik Hary Tanoe yang memberi tempat extra besar untuk kampanye Partai Hanura tatkala beliau bergabung sebagai Partai Hanura dan mendeklarasikan diri sebagai pasangan capres cawapres bersama Wiranto Ketua Umum Partai HANURA jauh sebelum pemilu legislatif berlangsung. Kemudian setelah Hary Tanoe hengkang dari HANURA bergabung dengan kubu Prabowo-Hatta bagaiman stasiun MNC grup memberi tempat hanya untuk kubu capres Prabowo-Hatta termasuk media koran yang ada dibawah grup MNC.
Selama berlangsung kampanye pilpres satu bulan terakhir intensitas pemihakan kedua stasiun besar TV One dan Metro TV semakin nyata. TV One lebih berpihak kepada pasangan Prabowo-Hatta dan Metro TV lebih berpihak kepada pasangan Jokowi-JK sesuai dengan afiliasi pemilik masing masing stasiun tersebut. TV one milik Aburizal Bakrie Ketua Umum Golkar pendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Metro TV milik Surya Paloh Ketua Umum Partai NASDEM pendukungan pasangan Jokowi-JK.
Bagi pendukung pasanganPrabowo-Hatta stasiun TV One menjadi stasiun favorit tontonan utama. Tidak ada acara berbau politik di TV One yang terlewat bagi pendukung Prabowo-Hatta. Demikian sebaliknya Metro TV menjadi stasiun favorit bagi pendukung Jokowi-JK dan tontonan utama. Tidak ada acara berbau politik di Metro TV yang terlewat bagi pendukung Jokowi-JK. Para relawan dan acara deklarasi dukungan kepada pasangan Prabowo-Hatta memprioritaskan TV One sebagai media peliput acara . Demikian para relawan dan acara deklarasi dukungan kepada Jokowi-JKmemilih mengundang awak Metro TV untuk meliput acara.
TV One menjadi stasiun yang dihindari bagi pendukung Jokowi-JK. Sebaliknya Metro TV menjadi stasiun yang dihindari bagi pendukung Prabowo-Hatta.
Prabowo tidak bisa menyembunyikan kegeraman pada awak Metro TV kemarin 9/7/2014 yang hendak mewawancarainya dengan melontarkan kata kata pedas (link).
Dilain pihak ,beberapa hari sebelumnya studio TV One di Jakarta dan Jogja tidak luput dari serbuan sekelompok pendukung Jokowi-JK yang menyampaikan protes keras atas pemberitaan TV One yang menyatakan PDIP sarang komunis link.
Kontestasi pilpres yang pertama kali menampilkan dua calon membuat berbagai lapisan masyarakat maupun organisasi terbelah secara vertikal maupun horizontal dengan pilihan masing masing hingga ke ruang ruang privat diorkestrasi oleh stasiun TV dengan afiliasi masing masing.
Puncaknya ketika hasil pilpres kemarin disiarkan oleh media dengan hasil yang menimbulkan kontroversi yang menegangkan . Antara quick count yang disiarkan langsung oleh Metro TV dengan quick count yang disiarkan oleh TV One.
Hasil quick count 6 lembaga survei yang menghasilkan angka kemenangan Jokowi-JK disiarkan luas dan terus menerus diudarakan oleh Metro TV . Sebaliknya hasil quick count 3 lembaga survei yang menghasilkan kemenangan bagi pasangan Prabowo-Hatta terus menerus diudarakan oleh TV One dengan bahasan dan argumen yang mendasari hasil quick count tersebut.
Situasi demikian membangkitkan ingatan kita tentang keseragaman informasi yang kita nikmati di era Orde Baru dengan siaran tunggal TVRI dan RRI yang harus direlay oleh semua stasiun swasta , sehingga tidak menimbulkan kebingungan masyarakat.
Sekalipun era Orde Baru tidak mungkin lagi terulang dan tidak kita kehendaki di era keterbukaan informasi sekarang , kita perlu mengingatkan bahwa media penyiaran TV dan radio bukanlah semata-mata milik pemodal .
Dengan segala preferensi nya harus disadari TV dan radio ada di ruang publik dan berada di frekwensi milik publik, sehingga harus menjaga netralitas nya.
Pasal 36 undang-undang nomor32tahun 2002 tentang penyiaran menegaskan bahwa
(1)Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
(2)Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnyaenam puluh per seratus mata acara yang berasal dari dalam negeri.
(3)Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
(4)Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
(5)Isi siaran dilarang :
a.bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b.menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c.mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(6)Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Bila stasiun TV telah meninggalkan netralitas dan melupakan kedudukan nya sebagai milik publik, maka hukum pasar akan berbicara bahwa media seperti itu cepat atau lambat akan ditinggalkan oleh publik.
Lambat laun publik akan tergerak untuk melakukan pemboikotan seperti dialami oleh berbagai produsen barang dan jasa ketika masyarakat mengalami hak hak nya sebagai konsumen terabaikan bahkan dirugikan .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H