Saya punya pengalaman (menyakitkan) berkenaan dengan tonsilitis atau yang dikenal dengan nama radang amandel atau amandel saja sudah cukup.
Ketika itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 2 atau kelas 3. Yah, itu sekitaran pertengahan 1970-an. Saat itu, saya sedang parah-parahnya terkena radang amandel.
Biasanya saya bisa masuk sekolah satu pekan, lalu amandel kambuh lagi, dan terkapar selama dua pekan. Sering sekali seperti itu. Makan susah, minum pun sulit ditelan. Demam. Badan tak karuan rasanya.
Rasanya pingin marah-marah, tapi tidak bisa. Ketika dua amandel bengkak sebesar bakso, berwarna merah membara, meninggikan suara dilarang. Bisa tambah parah radangnya.
Mama bolak-balik membawa saya ke dokter setiap kali amandel membandel. Entah mengapa hanya saya yang menderita penyakit itu. Adik-adik saya tidak pernah mengalaminya. Sama sekali tidak adil.
Dokter yang kami datangi itu untung saja tempat praktiknya dekat. Rumahnya, di mana ia berpraktik, berada di gang sebelah. Namanya, ah tak perlu disebut ya, tidak enak dengan keluarganya kalau masih ada. Saya masih ingat namanya sih.
Yang pasti, pak dokter ini sudah sangat senior. Mobilnya entah bermerek Mercy atau Volvo. Warnanya hitam, ukurannya besar. Mobil khas para dokter, kata orang ketika itu.
Saya tidak ingat obat apa yang diberikan pak dokter ketika itu, namun selalu ada obat kumur. Rasanya tidak enak. Yuck!
Setelah itu, saya hanya bisa menyantap biskuit Regal yang direndam air hangat. Biskuit akan membesar ukurannya dan menjadi sangat lunak. Hanya makanan itu yang bisa menyelinap dengan aman di antara dua amandel yang sedang bengkak. Plus, tentu saja, minum air putih banyak-banyak.
Saya tidak ingat berapa kali dalam satu tahun saya harus bertemu pak dokter untuk mengurusi amandel. Sekolah saya pun jadi kacau balau.