Ini gara-gara rumah kami terkena banjir pada 18 Januari 2022. Pertama kali banjir lagi, sejak Januari dan Februari 2020. Jadi, selama 2021, kami benar-benar bebas banjir. Dan, kami anggap rumah kami benar-benar sudah tidak akan terkena banjir lagi. Namun, ternyata tidak demikian.
Banjir 2022 tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan banjir 2020. Banjir 2020 sangat, sangat, sangat di luar dugaan kami. Biasanya, rumah kami kemasukan air hanya dari rembesan lantai. Namun, tidak demikian pada banjir bandang berurutan pada Januari dan Februari 2020.
Pada saat itu, lantai memang rembes seperti biasa, namun karena hujan deras yang terjadi lebih dari 10 jam kalau tidak salah (sungguh, saya tidak suka mengenang peristiwa buruk), air masuk ke rumah, meloncati tanggul yang kami pasang di setiap pintu. Alhasil, air yang biasanya hanya setinggi tidak sampai 5 cm, pada saat itu mencapai 1 meter di dalam rumah.
Paha saya sudah hilang tertutup air. Ketika harus ke jalan, tinggi air mencapai pinggang saya. Mama sampai harus berkali-kali diungsikan ke rumah tetangga, mereka menawarkan. Kebetulan rumah mereka berlantai dua. Rumah kami hanya satu lantainya.
Mama diangkut oleh tim SAR, yang kebetulan sedang patroli, dengan perahu karet untuk diungsikan ke rumah tetangga tersebut. Seumur-umur, saya belum pernah melihat banjir yang cukup tinggi untuk dilewati oleh perahu karet saat banjir di lingkungan rumah kami.
Sebagai orang yang sudah puluhan tahun selalu terkena banjir, kami sudah tahu bahwa 18 Januari lalu akan terjadi banjir. Ada sifat-sifat hujan yang pada akhirnya akan menyebabkan banjir.
Hujan deras, sangat deras, lalu waktu hujan yang lama, seperti tidak tahu kapan akan berhenti. Kami punya patokan di halaman rumah yang menjadi tanda bahwa banjir akan datang.Â
Jika patokan itu belum dilewati dan hujan sudah berhenti, maka tidak akan ada banjir. Namun, jika patokan sudah dilewati dan hujan tidak ada tanda berhenti, maka siap-siaplah.
Sekali lagi, sebagai orang yang sudah puluhan tahun terkena banjir, menaikkan barang-barang yang semula tersembunyi di bawah tempat tidur dan tempat lain tiba-tiba terasa sangat mudah untuk dilakukan. Saya yakin itu akibat adrenalin dan juga sedikit panik.
Nah, saya ingin membahas rasa panik yang diakibatkan oleh hujan deras dan juga oleh banjir. Mungkin judul artikel ini seharusnya sebagai berikut: "Efek Hujan Deras dan Banjir terhadap Kesehatan Jiwa Saya".
Sungguh, sejak banjir bandang pada 2020, saya memiliki rasa stres kelas berat yang muncul setiap kali hujan deras dimulai. Agak lebih ringan jika hujan deras terjadi pada pagi atau siang hari. Hari masih terang, sehingga masih bisa tampak dengan jelas.
Yang berabe kalau turun pada malam atau dini hari, di saat seharusnya kita tidur. Malam gelap, kalau ada air yang meningkat tingginya di jalan, akan sulit terlihat. Sudah pasti saya tidak akan bisa tidur saat hujan deras malam hari.
Kapan pun hujan deras itu turun, maka panik dan cemas pun ikut muncul. Tanda pertama yang saya alami adalah perut yang tiba-tiba terasa sangat mulas, sehingga saya harus (maaf) BAB. Kelar buang hajat, bukannya panik mereda, apalagi kalau hujan bertambah deras.
Badan saya akan gemetar. Memang, orang rumah tidak ada yang memperhatikan, karena rupanya saya adalah aktor ulung. Sesungguhnya saya sangat ketakutan. Saya tidak tahu harus berbuat apa, selain terus berdoa.
Oh iya, setiap kali hujan mulai, saya mulai komat-kamit mengucapkan doa agar hujan berhenti. Saya mendapatkannya dari seorang teman. Kadang, doa itu ampuh, kadang tidak. Allah yang Maha Mengatur. Jika Ia ingin hujan deras, ya hujan deraslah terus.
Isi doa itu adalah sebagai berikut:
"Allaahumma hawaalainaa wa laa 'alainaa. Allaahumma 'alal aakaami, wazh-zhiroobi, wa buthunil audiyati, wa manaabitisy-syajar."
Artinya:
"Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan yang merusak kami. Ya Allah, turunkanlah hujan di dataran tinggi, bukit, perut lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan." (HR Al-Bukhari 933 dan Muslim 897).
Doa tersebut dibaca saat hujan lebat dengan tujuan agar hujan berhenti. Saya tetap mengucapkannya, di dalam hati, ketika sedang berada di dalam toilet. Padahal, di dalam toilet dilarang untuk menyebutkan Allah. Tapi, saya tetap mengucapkan doa itu, tanpa henti, ketika hujan turun dengan lebat.
Selain berdoa, saya juga memaksakan diri untuk berpikir bahwa benda-benda di dalam rumah yang akan rusak akibat banjir hanyalah benda-benda belaka. Tidak lebih. Bisa diganti lagi.
Plus, setiap kali kelar banjir, rumah kami sepertinya "lebih ringan" beberapa puluh kilogram. Itu berkat semua tumpukan sampah yang terbentuk saat membersihkan rumah. Happy thoughts!
Melalui sebuah artikel yang dirilis oleh Public Health England, "Flooding and mental health: Essential information for front-line responders", dikatakan bahwa stres dan panik yang disebabkan oleh hujan deras dan terutama oleh banjir sifatnya hanya sementara. Keduanya akan sirna sejalan seiring dengan berjalannya waktu.
Kalau pun akan datang hujan dan banjir lagi, maka mau tak mau akan bisa dihadapi, walau stres dan panik juga ikut muncul. Manusia itu kuat, tahan banting, dan pasti bisa mengatasinya, demikian kata artikel itu.
Well ya, karena itu artikel bikinan Inggris, mungkin saja mereka hanya mengalami banjir sekali-kali, tidak setiap awal tahun seperti yang dialami oleh orang Jakarta.
Oh iya, mereka juga menyebutkan kalau stres dan panik tak hilang juga, walau tak ada hujan tak ada banjir, maka dianjurkan untuk menemui dokter.
Huh, bukan saran yang buruk. Ah, tapi buat apa ya ke dokter gara-gara stres akibat banjir? Kayak kurang kerjaan aja.Â
Masih banyak daerah lain di Jakarta yang kebanjiran, walau tak ada hujan turun. Mereka yang mengalami banjir kiriman dari waktu ke waktu. Bayangkan, seperti apa stres dan paniknya mereka, menanti banjir kiriman yang lantas merendam rumah.
Mungkin, manusia pada dasarnya memang kuat, baik fisik maupun mental. Sudah tahu daerah tempat tinggalnya selalu dilanda banjir, masih saja tinggal di sana. Saya juga demikian.Â
Sudah tahu rumah satu lantai tidak lagi cocok untuk banjir-banjiran, mengapa juga tak ditinggikan menjadi berlantai dua. Ada yang mau menyumbang agar saya bisa meninggikan rumah? Satu miliar rupiah rasanya cukup. Hahaha.
Sungguh, artikel ini tidak ada apa-apanya. Hanya saya yang melantur, menulis saja tanpa ada pola. Pokoknya tentang banjir, hujan deras, dan saya panik.
Oh iya, satu lagi. Kami semua memiliki aplikasi yang dibuat oleh Badan Meteologi, Klimatologi, dan Geofisika, yaitu Info BMKG. Aplikasi itu, yang disebut sebagai "Multi-Hazard Early Warning System", berisi info tentang cuaca, iklim, dan gempa bumi di Indonesia. Lumayan real time.
Yang berguna untuk kami adalah peringatan dini cuaca, terutama jika menyangkut hujan lebat disertai angin kencang dan kilat/petir. Biasanya, mereka akan memberi notifikasi sekitar setengah jam sebelum kejadian. Kadang memang benar turun hujan, kadang tidak. Namun, itu bisa memberi kami waktu untuk bersiap-siap.
Notifikasi itu, selain menyebutkan waktu, juga menyebutkan daerah-daerah mana saja yang akan terkena dampak. Per provinsi. Per kabupaten sampai kelurahan. Jadi, lumayan detail.
Mungkin, saya harus menguatkan diri saya, secara mental, setiap kali hujan deras turun. Berpasrah diri, sembari terus berdoa agar hujan berhenti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H