Hey, man I'm alive, I'm takin' each day and night at a time
I'm feelin' like a Monday but someday I'll be Saturday night
Dua baris kalimat di atas adalah intro dari salah satu lagu favorit saya yang dinyanyikan oleh grup musik Bon Jovi. Judulnya adalah "Someday I'll Be Saturday Night".
Lagu yang terdapat dalam album Crossroad yang dirilis pada 1994 itu menjadi lagu pelipur sakitnya saya setelah patah hati, gara-gara terlibat cinta segitiga. Padahal, lagu itu sama sekali tidak berkisah tentang patah hati, melainkan tentang kehidupan keras yang harus dilalui oleh dua tokoh, Jim dan Billy Jean. Tapi, untuk saya, lirik lagu itu bisa menjadi penyemangat gara-gara patah hati.
Ceritanya, kira-kira satu tahun setelah saya bekerja di sebuah tabloid olahraga yang pernah menjadi terbesar di Indonesia, seorang laki-laki yang nyentrik bergabung ke kantor saya. Rambutnya panjang hingga sepinggang. Gaya-gaya seniman begitu. Entah bagaimana, saya tertarik padanya.
Bisa saya akui bahwa dia adalah cinta pertama saya. Rasanya berbunga-bunga. Setiap saat ingin berduaan saja, tapi kami tidak digaji untuk pacaran, 'kan? Jadi, kami harus bersabar hingga jam kantor kelar. Susahnya, karena dia tidak berada di redaksi, maka dia sudah kelar kerja jauh sebelum saya selesai.
Tapi, dia mau saja menunggui. Saya senang sekali setiap kali diantarkan pulang ke rumah dengan mobilnya. Saya bukan tipe cewek matre, ya. Hingga hari terakhir saya bekerja di tabloid itu, saya selalu naik taksi untuk pulang.
Saya hanya senang ketika punya kesempatan untuk bersamanya. Ketika sampai rumah, biasanya dia akan masuk sejenak ke rumah saya dan mengobrol. Biasanya dia pulang sekitar pukul 11 malam. Jadi, biasanya dia sudah makan malam terlebih dulu di kantor.
Hubungan kami tidak lama. Hanya sekitar enam bulan. Tapi, saat itu saya menikmati tiap detiknya. Sampai suatu hari saya memergoki dia bersama cewek lain. Ketika itu, saya pulang dari kantor naik taksi. Sudah malam. Tiba-tiba di jalan, saya melihat mobilnya. Saya akan mengenali mobil itu, meski hari sudah gelap.
Saya sudah senang saja dan sudah bersiap untuk membuka jendela untuk menyapanya. Ternyata, dia bersama cewek lain. Malam itu perasaan saya tidak karuan. Kacau-balau.
Keesokan hari, saya menelepon ke mejanya dan membuat janji untuk bicara. Saya ingin tahu siapa cewek yang dibawanya malam-malam. Setahu saya, hanya saya orang yang sedang dipacarinya.
Dia tergagap ketika saya tanyakan itu. Bertanya, bagaimana dan kapan saya melihatnya bersama cewek itu. Terakhir, dia meyakinkan bahwa cewek itu bukan siapa-siapa. Hanya teman. Jawabannya memang agak kabur, tapi setidaknya itulah kesimpulan yang saya dapat.
Akan tetapi, semakin lama, kok jadi makin mencurigakan. Dia makin menjauh, selalu punya alasan saat diajak untuk nonton misalnya. Ada saja alasannya.
Sampai suatu hari, Mama saya mendapat telepon dari seseorang yang mengaku sebagai pacar cowok saya. Lah, saya tidak tahu dari mana si cewek mendapat nomor telepon rumah saya.
Tentu saja, hal itu saya ceritakan kepadanya. Dia harus tahu kalau ceweknya sudah lancang menelepon ke rumah, padahal tahu bahwa saya sedang di kantor.
Semakin hari, hubungan kami jadi makin renggang. Sampai suatu malam, saya mendapat telepon darinya, untuk menyudahi hubungan. Dia hanya bilang: "Kita jalan sendiri-sendiri saja, ya." Sudah begitu saja, pengecut sekali. Hanya berani memutuskan hubungan melalui telepon, tidak face-to-face.
Setelah itu, saya baru tahu, ada yang memberi tahu, bahwa dia tidak pernah memutuskan ceweknya. Jadi, sembari berhubungan dengan cewek itu, dia juga nyambi jalan bareng dengan saya.
Selain meminta ampun kepada Allah SWT, karena sudah hampir merebut cowok orang, saya juga menjadikan lagu Bon Jovi tadi sebagai pelipur.
I'm feelin' like a Monday...
Perasaan saya persis seperti lirik tersebut. Patah hati kelas berat. Saya merasa seperti Senin. Well, siapa sih yang suka pada Senin? Kalau bisa, tidak ada saja hari itu.
...but someday I'll be Saturday night
Nah, optimisme muncul di kalimat berikutnya. Suatu hari, saya akan menjadi Sabtu malam, alias malam Minggu. Semua orang senang dengan hari itu. Akhir pekan, menggembirakan. Esoknya Minggu, tak perlu kerja. Pokoknya, hari untuk bersenang-senang.
Anyway, mantan saya itu lantas menikahi pacarnya itu. Entah berapa lama mereka menikah. Mereka sudah memiliki anak ketika mereka bercerai. Lantas, si pria menikah lagi. Entahlah bagaimana kabarnya sekarang. Saya tidak peduli.
Cinta segitiga tidak mengasyikkan, apalagi untuk pihak yang "kalah" seperti saya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika saya bisa mengalahkan si rival. Yang pasti, saya tidak bisa percaya kepada laki-laki yang bisa mempunyai dua pacar pada waktu bersamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H