Keesokan hari, saya menelepon ke mejanya dan membuat janji untuk bicara. Saya ingin tahu siapa cewek yang dibawanya malam-malam. Setahu saya, hanya saya orang yang sedang dipacarinya.
Dia tergagap ketika saya tanyakan itu. Bertanya, bagaimana dan kapan saya melihatnya bersama cewek itu. Terakhir, dia meyakinkan bahwa cewek itu bukan siapa-siapa. Hanya teman. Jawabannya memang agak kabur, tapi setidaknya itulah kesimpulan yang saya dapat.
Akan tetapi, semakin lama, kok jadi makin mencurigakan. Dia makin menjauh, selalu punya alasan saat diajak untuk nonton misalnya. Ada saja alasannya.
Sampai suatu hari, Mama saya mendapat telepon dari seseorang yang mengaku sebagai pacar cowok saya. Lah, saya tidak tahu dari mana si cewek mendapat nomor telepon rumah saya.
Tentu saja, hal itu saya ceritakan kepadanya. Dia harus tahu kalau ceweknya sudah lancang menelepon ke rumah, padahal tahu bahwa saya sedang di kantor.
Semakin hari, hubungan kami jadi makin renggang. Sampai suatu malam, saya mendapat telepon darinya, untuk menyudahi hubungan. Dia hanya bilang: "Kita jalan sendiri-sendiri saja, ya." Sudah begitu saja, pengecut sekali. Hanya berani memutuskan hubungan melalui telepon, tidak face-to-face.
Setelah itu, saya baru tahu, ada yang memberi tahu, bahwa dia tidak pernah memutuskan ceweknya. Jadi, sembari berhubungan dengan cewek itu, dia juga nyambi jalan bareng dengan saya.
Selain meminta ampun kepada Allah SWT, karena sudah hampir merebut cowok orang, saya juga menjadikan lagu Bon Jovi tadi sebagai pelipur.
I'm feelin' like a Monday...
Perasaan saya persis seperti lirik tersebut. Patah hati kelas berat. Saya merasa seperti Senin. Well, siapa sih yang suka pada Senin? Kalau bisa, tidak ada saja hari itu.
...but someday I'll be Saturday night