Saya tahu soal pohon baobab justru dari sebuah game bernama Klondike. Game itu adalah sebuah game ekspedisi yang ceritanya terjadi di Alaska saat zaman gold rush alias demam emas. Pokoknya masa lalu deh setting waktunya.
Di game itu kita harus membuka lahan untuk membangun rumah, pabrik-pabrik, area tanam, memelihara ternak, dan sebagainya. Nah, pohon baobab menjadi salah satu pohon yang harus ditebang untuk bisa membuka lahan. Ada banyak pohon lain yang mesti ditebang juga, salah satunya pohon pinus.
Butuh banyak energi untuk menebang satu pohon baobab. Sudah pasti butuh waktu lama untuk menebang semuanya di game itu.
Saya selalu penasaran seperti apa pohon baobab dalam kehidupan nyata. Saya hanya tahu bahwa pohon itu berasal dari Afrika, dengan nama spesies Adansonia digitata. Tapi, saya tidak tahu bentuknya yang asli seperti apa.
Lalu, suatu ketika saya punya kesempatan untuk melihat langsung pohon baobab yang ditanam di sekitar Gedung Rektorat almamater saya, Universitas Indonesia, di Depok. Tentunya, saya jalan-jalan ke sana jauh sebelum pandemi Covid-19 tiba.
Wah, ternyata pohonnya besar sekali. Sayangnya, saya tidak membawa alat pengukur. Seandainya bawa, saya bisa mengukur diameter batangnya. Oh iya, bentuk batangnya itu besar di bagian bawah dan mengerucut ke atas.
Kalau yang saya baca, pohon baobab bisa bertinggi hingga 25 meter dan diameter batangnya antara 10-14 meter. Rasanya, pohon baobab yang ada di Depok itu masih relatif muda. Tingginya belum mencapai 25 meter. Agaknya.
Saya baca di artikel yang dikeluarkan oleh National Geographic Indonesia, pihak UI memindahkan 10 pohon baobab berberat 50-120 ton itu sejak September 2010. Hanya saja, pohon-pohon itu tidak dipindahkan dari Afrika sana, melainkan dari kebun tebu milik PT PG Rajawali 2 di Desa Manyingsal, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Tentu saja, pemindahannya tidak dilakukan sekaligus. Meski demikian, pemindahan bertahap itu tercatat sebagai relokasi pohon raksasa pertama di dunia, demikian tulis NatGeo Indonesia.