Rumah kami terletak di pojok, atau rumah hook kalau orang bilang. Sehingga, kami selalu punya sisa tanah yang bisa ditanami.
Dulu, dulu sekali, kami punya pohon cermai. Semata wayang memang, tapi itu sudah cukup untuk mengundang para tetangga untuk panen buah cermai setiap kali pohon itu berbuah.
Saya tidak suka buah cermai. Sangat asam. Oleh para tetangga, buah cermai iti dibuat manisan, supaya tingkat keasamannya menurun. Tetap saja saya tidak suka.
Lalu, pada saat yang sama, kami juga punya pohon jambu batu. Nah, kalau pohon yang satu ini banyak cabangnya, sehingga saya sering memanjatnya dan lantas nangkring di salah satu cabang.
Setelah itu, kami pindah ke Jayapura. Pohon-pohon di halaman rumah memang tidak di rumah Jakarta, tapi saat itu kami jadi punya pohon jambu monyet. Buahnya beken, karena di ujungnya ada kacang mede.
Tapi, terus terang saya tidak pernah melihat ada kacang mede di buah jambu monyet di pohon itu. Mungkin kacang medenya sudah rontok.
Kembali lagi ke Jakarta, pohon cermai dan pohon jambu batu sudah menghilang. Jadi, kami jarus menanam pohon-pohon lagi. Atau, tepatnya Mama yang menanam semua pohon.
Tangan saya sama sekali tidak hijau, berbeda dengan Mama saya yang tangannya sangat dingin dalam hal tanam-menanam.
Salah satu pohon yang ditumbuhkan Mama adalah mahkota dewa. Agaknya, Mama membawa bijinya saat kembali dari Papua.
Butuh bertahun-tahun untuk pohon itu membesar dan mulai berbuah. Ketika mulai berbuah, sekali lagi para tetangga pun tertarik sekali. Tapi, Mama selalu mengingatkan mereka bahwa buah mahkota dewa tidak bisa disantap langsung.