Saya ingat-ingat, pokoknya kalau makan saya kacau, maka malaria hadir. Semasa kuliah pun tak ada bedanya. Lalu, pada tahun-tahun pertama kerja, malaria juga pernah menyambangi. Pada ketiga periode itu, badan saya sangat kurus, anemia berat, rambut saya juga memutih, tapi bukan uban, karena kurang asupan makanan.
Selanjutnya, saya mulai menata diri. Repot juga kalau sering-sering berhadapan dengan malaria. Tidak ada dokter di Jakarta yang percaya saya punya malaria.
Karena itu, saya mulai memperhatikan pola makan. Kapan waktu makan, meski tak sarapan, yang penting waktu makan yang lain tak pernah absen. Juga apa saja yang saya santap. Akhirnya, berat badan saya bertambah, mulai berisi. Ketika itu terjadi, malaria pun semakin jarang datang.
Kini, saya menjadikan malaria sebagai teman. Saya tahu saya tidak sepenuhnya lepas dari yang namanya Plasmodium. Karena itu, ketika tiba-tiba mulut saya terasa pahit, badan mulai linu-linu, dan mulai terasa demam, saya lantas menapak tilas apa yang saya lakukan sampai-sampai tanda malaria muncul seperti itu.
Saya lantas menyantap apa saja yang bisa saya makan. Sedikit terasa pahit, tak apa. Yang penting jangan sampai malaria muncul sepenuh hati. Pesan almarhum bapak setiap kali saya sakit: “Makanlah yang banyak. Paksa saja. Supaya lekas sembuh.”
Ya, masuk akal juga. Kalau perut kosong, sementara kita harus menelan banyak obat, lambung bisa runyam. Tidak ada bantalan untuk obat-obat itu.
Jadi, demikianlah. Semua tanda malaria itu saya jadikan teman, saya jadikan patokan sebagai petunjuk adanya kesalahan pola hidup saya dan segera saya perbaiki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H