[caption id="attachment_258118" align="aligncenter" width="400" caption="123rf.com"][/caption]
Seorang pasien, sedikit agak bingung letika saya beritahu bahwa Ia menderita diabetes melitus. "Kenapa bisa dokter?" Tanya pasien. "Pada hal saya jarang minum gula lho dok, dan orang tua saya tidak ada yang diabetes, saudara saya juga."
Walapun diabetes melitus bukan merupakan penyakit yang asing lagi di tengah-tengah masyarakat kita, karena semakin meningkatnya kasus ini dari waktu ke waktu, tetapi pemahaman, penegertian pada kebanyakan pasien kelihatannya masih kurang. Pada hal, pemahaman tentang penyakit ini akan menentukan perjalananannya ke depan dengan segala akibatnya. Apalagi, Â seperti diketahui, diabetes adalah penyakit gaya hidup. Â Sikap, perilaku, bagaiamana Anda menanggapi penyakit ini sangat menentukan apakah dapat hidup bersamanya atau Anda akan menjadi korbannya.
Seperi pasien di atas,  banyak pasien lain  menganggap. bahwa diabetes itu hanya karena minum air gula saja, bila tidak mengonsumsi gula, Ia tidak mungkin terkena diabetes, dan kalau kadar gula darahnya tinggi,  otomatis akan normal lagi, penyakit diabetes serta merta juga akan baik sendirinya. Jadi, mau makan-minum apa saja, nasi, kue, roti, ubi kayu,  kerupuk, kentang, minuman kaleng,  tidak menjadi persolan, apalagi kalau makan gratis ketika ada undangan, diajak teman, apa pun yang masuk ke dalam perutnya dianggap tidak masalah juga
Faktor turunan juga sering dijadikan  sebagai biang kerok penyakit diabetes yang dideritanya. Jadi, bila orang tuanya ada yang menderita diabetes, kemudian Ia juga terkena penyakit yang sama, itu sah-sah saja, apapun yang dilakukan tidak akan banyak bermanfaat untuk mencegah atau mengobatinya. Bila tidak ada orang tua, keluarga, saudara dengan yang menderita diabets, maka pasien mengannggap mereka juga tidak mungkin menderitanya.
Kebanyakan pasien juga beranggapan bahwa bila gula darah  sudah dikatakan normal, maka pasien sering menganngap penyakitnya sudah sembuh, karena itu tidak perlu lagi diet, olahraga, makan obat atau kotrol. Bila pasien luka, dan lukanya bisa sembuh begitu saja, pasien juga menganggap walaupun gula darahnya tinggi, gula darah yang tinggi dianggap juga tidak masalah, dan bahkan pasien tidak percaya kalau dia menderita diabetes melitus. Sehingga, risiko kejadian kompliksi diabetes seperti kebutaan, gagal ginjal, amputasi, gangguan syaraf cukup tinggi dan terjadi lebih dini. Pada hal, sampai sekarang,  diabetes masih dianggap sebagai sebagai penyakit yang akan mendampingi Anda seumur hidup. Jadi, sekali Anda didiagnosis sebagai penyandang diabetes melitus, selamanya dia bersama Anda. Dalam beberapa kasus tertentu mungkin saja Anda tidak memerlukan obat-obatan, tetapi diet,  mempertahankan berat badan yang normal olahraga tetap menjadi pilihan hidup Anda.
Beberapa pasien yang mengalami  luka yang khas untuk pasien diabetes, seperti tidak mempermasalahkan luka itu, walaupun saya lihat luka itu mulai membusuk, hanya karena pasien tidak merasakan rasa sakit akibat lukanya. Jadi, kalau luka tidak sakit-- pada hal hilangnya rasa sakit itu akibat kerusakan syaraf tepi karena komplikasi diabetes--bagi sebagian pasien hal itu tidak disikapi sebagai sesuatu yang serius. Ini juga Saya lihat sebagai faktor penting, penderita diabetes menjadi terlambat mendapatkan penanganan yang tepat oleh dokter. Banyak pasien diabetes yang mengalami amputasi karena keterlambatan ini.
Dalam masyarakat juga beredar semacam pemahaman, atau istilah "diabetes kering",  dan "diabetes basah".  Menurut mereka,  walaupun kadar gula  darah tinggi, tetapi tidak ada luka, infeksi di kaki misalnya, itu juga dianggap tidak apa-apa, dan ini disebut diabetes kering. Asumsi seperti ini dapat berakibat fatal, seperti hiperglikemi dan komplikasi kronik yang baru diketahui dalam tahap lanjut.
Banyak lagi pemahaman lain yang keliru, salah dalam masyarakat terkait penyakit diabetes yang mulai meroket di Indonesia ini. Kekeliruan ini dapat berakibat fatal, seperti komplikasi-komplikasi yang dapat mengancam kualitas hidup mereka. Karena itu, sosialisasi, edukasi mengenai penyakit ini sangat penting sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H