Beberapa hari yang lalu saya mengikuti perjalanan Toronto-Boston-New York-Washington-Pensylvania-Toronto selama enam hari lima malam melaui suatu travel di Mississauga. Travelling pertama yang saya ikuti bersama dengan rombongan dengan bermacam etnis, warna kulit dan kewarganegaraan.
Saya tahu mereka waktu masing-masing grup, dan individu rombongan memperkenal diri. Sebagian besar mereka adalah warga negara Canada. Dari yang berwarganegara Canada juga saya lihat bermacam etnis, kulit putih, India, Pakistan, China, Philipina, Jepang, Black Canadian. Diluar itu juga sama, ada China, Korea, Philipina, Thailand, Taiwan, Jepang, India, Amerika Latin, Pakistan dan lain-lain
Dari 50 anggota rombongan, saya tidak tahu berapa dari mereka yang muslim, barangkali ada sekitar 3-5 orang, saya hanya melihat dari pakaiannya, termasuk saya dari Indonesia satu-satunya
Di sebelah saya, dekat jendela seorang laki-laki, saya tahu setelah saya memperkenalkan diri, warga negara Canada, keturunan India, dan sebelah kanan saya, dibatasi gang seorang wanita masih muda bersama suaminya dari Philipina.
Lalu, kira-kira satu jam lebih perjalanan, istri teman seperjalanan yang duduk di depan dng adiknya menawarkan makanan. Spontan dia menolaknya dan mengatakan nanti saja. Melihat itu secara saya bertanya, "apa sudah saraoan pagi ini, kok ngk makan?" Sebenarnya belum, tapi saya tahu anda berpuasa, ngk enak saja, jawabnya. "Ngak apa-apa", imbuh saya, makan saja. "Terimaksih, saya punya saudara yang muslim, biasanya kalau dia berpuasa saya tidak mau makan di depannya. Sudah terbiasa begitu, dan saya tahu menahan lapar dan haus itu tidak mudah, kalau saya makan di depan anda, pasti ada pengaruhnya, dan saya juga paham bahwa puasa itu perintah agama yang tujuanya sangat mulia. Menghargai orang yang sedang melaksanakannya saya pikir itu juga suatu kebaikan dan kewajiban yang baik juga. Lagi pula, sebentar lagi kita akan berhenti, saya bisa makan di sana". Demikian tanggapan teman seperjalanan saya itu
Mendengar komentar teman seperjalanan satu bangku ini saya teringat polemik, hiruk pikuk, komentar-komentar di Indonesia menanggapi beberapa isu terkait dengan sikap kita terhadap mereka yang puasa atau sebaliknya. Isu yang bermula ketika warung makan bu Saeni ditertibkan petugas Satpol PP untuk menerapkan Perda ini, mendapatkan perhatian luar biasa dari sekelompok masyarakat, menjadi gorengan empuk media masa yang ingin membuat image seolah olah tidak tolerannya agama, ummat Islam. Rekayasa, sandiwara pun dibuat, agar bu Saeni kelihatan menjadi orang sangat teraniaya. Orang miskin yang perlu mendapatkan simpati. Ibu Saeni menangis, meratap, dan ceritanya entah benar atau tidak bu Saeni dibayar untuk itu. Lalu, simpati dan bantuan pun turun, hujatan kepada satpol PP yang dianggap tidak manusiawipun membahana. Dan, gerakan untuk membantu bu Saeni yang dianggap teraniaya, orang miskin digerakkan. Bantuan ratusan juta pun mengalir, termasuk dari Presiden JKW. Hehehee, kebayang penggusuran luar batang yang tidak manusiawi tanpa mendapatkan pethatian dan simpati apa-apa
Heran, dan tidak habis pikir saya dengan keadaan seperti itu, apalagi komentar dari beberapa tokoh, pejabat, "hormatilah orang yang tidak berpuasa", hehheehe, apa tidak sebaliknya? Saya jelas, tidak meminta agar orang yang berpuasa untuk dihormati, tapi, apa salahnya mereka diberi kemudahan, dibantu menciptakan suasana yang mendukung mereka yang berpuasa menjalankan Ibadahnya. Bukan sebaliknya, memfasilitasi mereka-mereka yang melanggarnya. Nah, Seperti teman seperjalanan saya di atas, dia tidak mau makan di depan saya karena ingin menghargai saya yang berpuasa. Dan, itu sangat mudah, hanya menundanya sementara saja.
Hidup berdampingan saling menghargai, menghormati itu indah.
Mississauga, 26-07-2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H