Mohon tunggu...
Irsyal Rusad
Irsyal Rusad Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Internist, FK UGM

Internist. Tertarik dng bidang Healthy Aging, Healthy Live, Diabetes Mellitus Twitter; @irsyal_dokter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak-Anak Malah Diajari Bunuh Diri

7 September 2011   11:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:10 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_130005" align="alignleft" width="300" caption="diunduh dari google"][/caption] Empat orang anak-anak, tiga orang laki-laki, satu orang perempuan saya lihat tergeletak di ruang ICU ketika saya visite kira-kira seminggu sebelum lebaran. Kepala dan beberapa bagian anggota tubuhnya dibalut perban, bahkan dua orang diantaranya terpasang spalk di tangan dan kaki mereka, kemungkinan karena fraktur. Muka mereka kelihatan lebam, darah mengalir dari hidung dan telinga mereka. Orangtua dan saudaranya dengan mimik sangat cemas, memegang kaki dan tangan anak-anak itu yang kelihatan bergerak gelisah. Nampak kesadarannya sudah menurun, bahkan mungkin sudah koma.

Menurut perawat jaga,pasien ini baru saja mengalami kecelakaan, tabrakan kendaraan bermotor. Satu orang langsung meninggal dan satu lagi luka ringan. “Mereka berbonceng tiga dokter’, kata perawat itu. ‘Berapa umur mereka?’......tanya saya penuh heran. “Masih anak-anak dokter, masih duduk di bangku sekolah dasar semua”, jawab pareawat itu lagi.Saya hanya terdiam, tidak bisa komentar, dada saya terasa penuh, agak sesak, saya lihat pasien itu semakin gelisah, dan orangtua mereka juga semakin cemas, air mata mulai mengalir membasahi pipi mereka. Firasat sayamengatakan, anak-anak ini, kalau tidak ada tindakan luar biasa yang diambil segera,barangkali juga akan menyusul salah seorang temannya yang sudah meninggal lebih dahulu di tempat kejadian kecelakaan.

Melihat semua ini, terbayang oleh saya, “banyak anak-anak remaja, bahkan anak- anak yang masih duduk di sekolah dasar mengendarai sepeda motor di jalan raya, tanpa memperhatikan keselamatan mereka, apalagi orang lain. Tidak memperhatikan rambu-rambu lalu lintas, tidak pakai helm, menyalib, ngebut, zig-zag semau-maunya”. Seperti pasien di atas, berbonceng tiga, masih anak-anak lagi, merupakan pemandangan yang umum kita lihat sekarang. Pemandangan seperti ini bukan hanya di kota-kota, di desa juga sama saja, mungkin lebih parah lagi. Pernah, waktu saya ke luar kota, saya melihat sendiri, tiga orang anak kecil, naik motor berbonceng tiga, terpelanting jatuh ketika kendaraannya masuk lubang, mungkin panik saat dia menyalib, tiba-tiba muncul kendaraan di depannya.

Kemudian, terpikir oleh saya, “apa penyebab semua ini?”......”kalau anak-anak itu, saya bahkan menyebutnya bayi-bayi itu harus meninggal akibat kecelakaan kendaraan bermotor itu, “siapakah yang harus disalahkan?...apakah anak-anak itu sendiri?” ...yang memang belum dewasa, yang belum dapat menimbang mana yang baik, buruk, yang berbahaya, rasanya tidak mungkin kesalahan ini ditimpakan kepada mereka. Oleh karena itu, menurut saya,ke dua orangtua mereka dan aparat yang berwenanglah yang seharusnya bertanggungjawab. Sayang, orantua sekarang, entah karena ingin memanjakan anak, takut dengan anak, atau karena gengsi, punya uang, semua keinginan anak dikabulkan. Anak-anak minta motorpun dibelikan, kalau perlu dikredit, dengan modal 500 ribu saja sebuah motor baru sudah bisa nongkrong di depan rumah.Kalau sudah punya motor, oragtua yang megajari anak-anakmereka yang masih kecil-kecil itu mengendarai motor juga bukan lagi hal yang aneh.Ini menurut sayasama saja dengan mengajari anak-anak mereka bunuh diri.

Aparat yang berwenang seharusnya juga bertanggungjawab terhadap lalu lalangnya anak-anak, remaja, jelas tanpa SIM, di jalan raya ini. Tapi itu dia, aturan ada, undang-undang ada, namun tidak dijalankan degan konsisten. Anak-anak mengendarai motor di jalan, tanpa helm, tanpa SIM. kebut-kebutan,mau berbonceng tiga, empat, atau berapapun, terserahlah, seolah-olah dibiarkan. Kalau toh ada razia, tidak membuat mereka kapok, pelajaran bagi mereka, dengan uang semua dapat diselesaikan.

Saya tidak tahu berapa angka kematian akibat kecelakaan di jalan raya di negara kita, saya kira pasti tinggi. Sebagai contoh, liburan mudik yang hanya sekitar 10 hari hampir seribu orang meninggal, itu baru yang tercatat. Menurut WHO, kematian akibat kecelakan di jalan raya ini menempati urutan ke 6 terbanyak di dunia. Di Amerika serikat, anak remaja umur 15-24 tahun yang mengalami kecelakan, merupakan penyebab kematian utama di usia itu. Dan, bahkan kematian akibat kecelakan pada usia remaja, yang banyak dialami remaja laki-laki dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan tingginya harapan hidup wanita.

Jadi, kembali kepada pasien anak-anak yang sedang bertarung dengan nyawanya itu, siapapun pasti prihatin, menyesal, hal ini  harus terjadi. Di Negara maju, orangtua yang diangap menelantarkan anak-anaknya, yang dapat menyebabkan kematian pada anak-anak itu, misalnya tanpa menggunakan alat pengaman khusus di mobil untuk bayi dan anak-anak, dapat dituntut dan dijebloskan ke penajara. Tapi, di sini, malah secara tidak sadar, anak-anak seperti diajari bunuh diri...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun