Mohon tunggu...
Irsyad Mohammad
Irsyad Mohammad Mohon Tunggu... Sejarawan - Pengurus PB HMI, Pengurus Pusat Komunitas Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA), dan Alumni Ilmu Sejarah UI.

Seorang aktivis yang banyak meminati beragam bidang mulai dari politik, sejarah militer dan sejarah Islam hingga gerakan Islam. Aktif di PB HMI dan Komunitas SATUPENA. Seorang pembelajar bahasa dan sedang mencoba menjadi poliglot dengan mempelajari Bahasa Arab, Belanda, Spanyol, dan Esperanto.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menurunnya Suara Partai Islam (Bagian 2): Bangkitnya Kecenderungan Post-Islamisme

18 September 2023   15:04 Diperbarui: 18 September 2023   18:34 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar, poto desain saudara saya sendiri, Sadam Husein (nama aslinya sebagaimana tertera di KTP dan bukan Mantan Presiden Irak).

Teori post-Islamisme pertama kali dicetuskan oleh Prof. Asef Bayat seorang profesor Iran-Amerika. Asef Bayat pertama kali mencetuskan istilah post-islamisme dalam esainya "The Coming of a Post-Islamist Society" (1996). Dalam esainya, Asef Bayat menganalisis munculnya fenomena post-Islamisme di Iran, di mana kaum islamis tidak lagi berbicara soal syariat Islam dan bagaimana negara Islam ideal harus diciptakan. Asef Bayat menulis soal ini lebih detail dalam bukunya Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam (2011).

Fenomena inilah yang kemudian disinyalir menjadi pemicu kemenangan Presiden Reformis Iran, Mohammad Khatami pada tahun 1997. Mohammad Khatami membawa isu reformasi kehidupan politik, di antaranya soal hak kaum perempuan, juga kebebasan media di Iran. Di masa Khatami, ia mengizinkan beberapa media independen berdiri, kontrol pemerintah terhadap media dikurangi, juga hal-hal terkait pemberdayaan perempuan ditingkatkan. Bahkan ia pun cukup aktif dalam merespons teori Huntington tentang clash of civilization dengan mempromosikan dialog antarbangsa.

PBB menetapkan tahun 2001 sebagai United Nations' Year of Dialogue Among Civilizations atas usulan Khatami. Iran di masa Khatami cukup aktif mempromosikan dialog antarbangsa dan berusaha memperbaiki hubungan Iran dengan negara-negara Barat. Ia juga mendukung kebebasan berekspresi serta toleransi terhadap minoritas beragama dan dialog lintas iman. Hal ini dianggap bukanlah hal yang lumrah karena Mohammad Khatami sendiri merupakan tokoh penting kalangan islamis.

Setelah jabatan Khatami berakhir, yang terpilih sebagai pengganti ialah Mahmoud Ahmadinejad yang ultrakonservatif (2005). Namun, bibit-bibit reformasi Khatami tidaklah hilang seketika. Kita dapat melihatnya pada fenomena Mahsa Amini pada tahun 2022.

Turki merupakan contoh sempurna untuk fenomena post-islamisme. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang merupakan partai yang didirikan oleh Recep Tayyip Erdoğan pada tahun 2001 adalah salah satu contohnya. Meskipun partai Islam, AKP tidak muncul dengan isu negara Islam ataupun penerapan syariat Islam serta formalisasi syariat Islam seperti kelompok islamis pada umumnya. Ia lebih memfokuskan diri pada isu perbaikan ekonomi Turki, liberalisasi ekonomi, demokrasi, hak kaum wanita, kebebasan berbicara, dan perlunya Turki bergabung dengan Uni Eropa agar peluang-peluang investasi serta kerja sama ekonomi antarnegara Eropa bisa ditingkatkan.

Isu bergabung dengan Uni Eropa menarik minat kalangan pemilih. Apalagi pada kenyataannya terdapat sejumlah besar diaspora Turki yang tersebar di berbagai negara Eropa. Mereka adalah keturunan para pekerja migran Turki, terutama di Jerman. Langkah AKP bisa dipahami mengingat berkali-kali setiap Perdana Menteri Turki yang berasal dari kelompok islamis selalu berakhir dikudeta oleh militer.

AKP berhasil menghantarkan Recep Tayyip Erdoğan sebagai Perdana Menteri pada tahun 2003 dan Presiden Turki 2014 hingga sekarang. Dalam berbagai pemilu, AKP selalu tampil sebagai pemenang. Mereka pelan-pelan menggeser sekularisme di Turki, meski tidak sepenuhnya menghapus warisan Mustafa Kemal Atatürk. Malahan Atatürk yang semula dicitrakan sekuler, berusaha mereka branding selain sebagai Bapak Bangsa juga sebagai Pahlawan Islam, karena menyelamatkan Turki dari ancaman penjajahan bangsa-bangsa Barat akibat kekalahan Turki pada Perang Dunia I.

Kini dapat dikatakan bahwa kecenderungan post-islamisme di Turki mulai menurun akibat mengerasnya kendali Erdoğan pasca kegagalan Kudeta Militer Turki 2016. Erdoğan kini menjadi semakin otoriter serta mulai lebih berani menunjukkan garis politiknya yang lebih islamis.

Langkah post-islamisme di Indonesia sebenarnya telah dijalankan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meski tanpa membawa-bawa label post-islamisme. Sementara itu, di Indonesia sendiri pembahasan mengenai post-islamisme memang belum menjadi pembahasan dominan dalam diskursus ilmu politik kita. Diskursus yang ada masih berfokus pada islamisme. Sudah ada kajian akademik yang membahas fenomena kecenderungan post-islamisme di Indonesia, misalkan kajian Lowy Institute, PKS & Kembarannya: Bergiat jadi Demokrat (2008). Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia oleh Komunitas Bambu.

Sejak Pemilu 2019 kemarin, PKS sudah mencoba mengubah strateginya ke arah post-islamisme. Dalam Pemilu 2019, PKS menjanjikan SIM gratis seumur hidup dan pajak motor dihapus apabila mereka menang pemilu. Dengan isu tersebut, PKS berusaha keluar dari pakemnya. Mereka tidak lagi membicarakan syariat Islam dan negara berlandaskan syariat Islam, melainkan menawarkan janji kampanye yang memiliki dampak langsung pada pemilih. Tampaknya PKS sudah mulai sadar bahwa bentuk negara ini dengan Pancasilanya sudah final. Perdebatan akademik soal bentuk negara hanya diminati segelintir orang. Para pemilih lebih suka hal-hal yang realistis seperti isi perut mereka, infrastruktur dan transportasi umum, pendidikan, serta kesehatan gratis. Hal-hal tersebut jauh lebih menarik minat mereka.

Janji SIM gratis seumur hidup & pajak motor dihapuskan oleh PKS dalam Pemilu lalu menunjukkan PKS berubah pakem menuju post-islamisme. Terkait langkah ini, kiranya bukan tanpa sengaja jika saat deklarasi Prabowo-Sandiaga (2018), Presiden PKS kala itu, Sohibul Iman, menyatakan Sandiaga Uno sebagai “Santri Era Pos-Islamisme.” Dari sini terlihat jelas bahwa elite-elite PKS membaca pemikiran Asef Bayat. Hasilnya memang lumayan. Dalam Pemilu 2019, PKS meraup suara 8,21%, sedangkan pada tahun 2014 mereka memperoleh suara 6,79%. Perolehan suara PKS pada tahun 2019 merupakan perolehan suara tertinggi dalam sejarah PKS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun