Oleh : Muhammad Irsyad Fakhri
Pandemi Covid-19 telah hadir dalam kurun waktu lebih dari 1,5 tahun lamanya. Virus ini pertama kali bermutasi di Cina dan teridentifikasi pertama suspect corona di Indonesia pada awal tahun 2020 lalu yang begitu menggemparkan. Dengan cepat pemerintah pun mengambil keputusan sebagai bentuk antisipatif agar tidak terjadi lonjakan kasus. Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak pula warga yang terpapar virus ini karena baru saja menyelesaikan perjalanan luar negeri dan berkontak langsung dengan orang yang terpapar.Â
Namun tindakan tersebut belum cukup untuk bisa memutus mata rantai penyebaran virus ini, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan WFH (Work From Home). Hal ini dilakukan untuk mengurangi adanya kerumunan yang memicu penyebaran yang begitu pesat dan cepatnya. Dengan ditetapkan nya kebijakan ini, maka berdampak pula pada sektor-sektor yang ada di dalamnya, salah satunya adalah sektor pendididkan.
Sejak saat itu tantangan yang begitu besar hadir dalam pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, dengan waktu yang begitu singkat, perubahan harus dengan cepat dilakukan yaitu dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan berbagai platform, seperti whatsapp , zoom, Microsoft, zenius dan lain sebagainya.Â
Pemerintah mulai mempertimbangkan untuk dibukanya sekolah tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat. Uji coba pembelajaran tatap muka sudah dilakukan dengan beberapa tahap, hal ini disambut antusias oleh banyak pihak. Namun, kabar buruk kembali hadir menerpa wacana pembelajaran tatap muka, kasus penyebaran covid-19 melonjak dengan begitu derasnya. Hingga pada akhirnya, pemerintah terpaksa memberhentikan uji coba pembelajaran tatap muka.Â
Ditengah kabar bahagia yang menyelimuti dunia pendidikan dengan kabar akan dibukanya sekolah tatap muka, namun kesehatan menjadi prioritas yang paling utama. Maka disinilah, dilematika muncul. Bagaimana keinginan masyarakat yang satu dan yang lainnya tidak sejalan, kemudian akan dibahas lebih dalam menggunakan perspektif fungsionalisme struktural Talcott Parson.
Talcott Parsons lahir di Colorado Springs, Amerika Serikat pada 1902. Dalam catatan sejarah, Parson dikenal sebagai tokoh fungsionalisme struktural terbesar hingga saat ini. Banyak karya berpengaruh yang berhasil ia suguhkan kepada komunitas intelektual, antara lain The Structure Of Social Action, Toward a General Theory of Action, The Social System, dan masih banyak lagi yang lainnya.Â
Perspektif struktural fungsional memandng masyarakat sebagai suatu sistem yang saling terintegrasi secara fungsional ke dalam suatu bentuk equilibrium. Perspektif ini merupakan pengaruh dari pandangan Herbert Spencer dan Auguste Comte yang menjelaskan bahwasanya adanya ketergantungan dan keterkaitan antara satu organ tubuh dengan organ tubuh yang lainnya, sama hal nya dengan kondisi masyarakat.
Parson berasusmsi bahwa masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan satu sama lain. ketika rencana pembukaan sekolah tatap muka dikeluarkan oleh pemerintah, tentu saja akan menimbulkan kontroversi, dimana ada masyarakat yang pro dan ada pula yang kontra.Â
Masyarakat yang pro atau setuju dengan adanya rencana pembukaan sekolah tatap muka tentu saja menyambut baik berita ini, pasalnya tidak sedikit dari mereka yang kesulitan jika pembelajaran terus dilakukan secara online atau jarak jauh. Karena tidak semua nya memiliki fasilitas yang memadai, belum lagi masih ada orang tua yang harus bekerja dan tidak bisa mengawasi anak sepenuhnya untuk belajar dari rumah. Atau bahkan tidak cukup memahami materi untuk bisa mengajari anaknya.
Maka dari itu, tidak sedikit masyarakat menyambut baik rencana pembukaan sekolah tatap muka yang tentunya dengan protokol kesehatan yang ketat. Lain hal dengan masyarakat yang kontra dengan wacana ini, mereka cenderung berpihak pada penerapan pembelajaran jarak jauh.Â