Mohon tunggu...
Media Informatif
Media Informatif Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Media informatif berisi artikel yang bersifat memberitahukan kepada khakayak ramai

Media informatif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan

24 Oktober 2018   08:41 Diperbarui: 24 Oktober 2018   09:03 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture : 123rf.com

Kita pasti akan mengalami kesedihan, entah kapan pun itu. Kita hanya bisa mempersiapkannya sebelum benar-benar tenggelam dalam kesedihan. Dan percaya, bahwa pasti akan ada kebahagiaan setelah itu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Entah sudah berapa lama aku disini, memandanginya tanpa tahu harus berbuat apa. lelaki itu---entah siapa namanya---masih sama seperti kemarin. Aku lupa sejak kapan aku suka memperhatikan kebiasaannya. Hanya satu yang aku tahu, ia sudah berdiri hampir setengah jam memandangi hujan yang turun dengan derasnya.

Mata lelaki itu kosong, tidak seperti sedang mengagumi setiap tetes hujan. Pikirannya entah kemana. Ia hanya terdiam berdiri di sana, dengan bulir airmata yang turun melewati pipi pucatnya.

Aku mengambil inisiatif untuk mendekatinya. Aku berdeham, tapi kelihatannya ia masih sibuk dengan pikirannya. Kemudian ia menyunggingkan senyum dengan tatapan yang masih sama.

BACA JUGA : Titip

"Hari ini, hujannya deras sekali," Ucapnya.

"Padahal, tadi siang panas sampai membuat banyak orang hampir gila." Tambahnya lagi.

"Ramalan cuaca juga mengatakan hari ini akan cerah," kataku.

"Ramalan cuaca tidak selalu benar, ya."

"Hal seperti ini memang tidak bisa diramalkan, kan?" Balasnya.

"Hari ini hujan, tapi besok belum tentu hujan. Yang jelas, hujan pasti turun. Kita hanya bisa mempersiapkan diri dengan membawa payung."

Aku terdiam memperhatikannya yang mengatakan kalimat itu---seperti sudah terbiasa---dengan air mata yang tidak berhenti mengalir di pipinya. Lelaki ini bukan sedang bercerita tentang hujan, melainkan tentang dirinya sendiri.

Aku menghela nafas pelan lalu kembali memandangi langit seperti yang dilakukannya.

"Bukankah setelah hujan, langit akan cerah? Seberapa lama hujan turun, sederas apapun itu, matahari akan muncul setelahnya." Ucapku.

Kami berdua terdiam, hanya terdengar suara rintik hujan yang mulai mereda. Aku berencana beranjak ketika lelaki itu memanggil namaku. Aku menoleh padanya karena dia tahu nama ku dan ia tersenyum, tanpa mengalihkan pandangannya dari langit mendung.

"Kau benar," katanya.

"Terima kasih."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun