Mohon tunggu...
Irsyad Sirsad
Irsyad Sirsad Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Semoga beruntung!

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengapa Kita Rasis?

2 Februari 2014   09:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 3344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sederhana, ras dibagi tiga, yaitu ras kulit putih, ras kulit hitam, dan ras kulit kuning. Secara lebih kompleks, ras dibagi menjadi austroloid, palhinesia/polynesian, amino, veddoid, kaukasoid, khoisan/kapoid, mongoloid, dan negroid. Benarkah keberagaman ras tersebut pemicu tindakan rasial antarras?

Kenyataannya, tindakan rasis terjadi di segala aspek kehidupan. Secara umum, tindakan rasis dipicu oleh adanya perbedaan antargolongan. Selama ini tindakan rasis identik dengan perlakuan ras kulit putih kepada ras kulit hitam.

Salah satu tindakan rasis paling populer pernah terjadi di Afrika Selatan antara masyarakat kulit putih dan masyarakat kulit hitam. Dahulu masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan mengalami diskriminasi secara sosial, politik, dan ekonomi. Pada masa itu berlaku sistem apartheid. Apartheid merupakan sistem pemisahan ras yang diterapkan pemerintah kulit putih kepada masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan. Masyarakat kulit hitam pun menentang sistem tersebut. Puncaknya, dikomandani Nelson Mandela, sistem apartheid dihapus di Afrika Selatan pada 21 Februari 1991.

Dewasa ini tindakan rasis masih sering terjadi, khususnya di dunia persepakbolaan. Pelakunya dari suporter hingga pemain sepak bola. Contohnya, beberapa pesepak bola berkulit hitam, seperti Mario Balloteli dan Kevin-Prince Boateng, pernah mengalami tindakan rasis yang dilakukan oleh suporter tim lawan.

Tindakan rasis antarpemain sepak bola pun pernah terjadi. Rio Ferdinand pernah mengejek Ashley Cole secara rasis. Melalui akun Twitter-nya, Ferdinand menghina Cole dengan sebutan choc ice. Artinya seorang kulit hitam yang merasa sebagai orang kulit putih. Peristiwa rasis lain terjadi antara John Terry dan Anton Ferdinand. Kala itu Terry mengumpat Ferdinand dengan kalimat rasis.

Sebagai negara multikultural, Indonesia juga tidak terlepas dari permasalahan rasis. Tindakan rasis pernah terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Dalam kerusuhan tersebut, banyak masyarakat etnis Tionghoa menjadi korban. Akibatnya, sebagian masyarakat etnis Tionghoa memilih mengungsi ke luar negeri.

Peristiwa rasial terhadap etnis Tionghoa bermula pada Oktober 1740. Masa itu etnis Tionghoa melakukan perlawanan terhadap VOC. Sekira 10.000 orang Tionghoa tewas dalam perlawanan tersebut. Perkampungan-perkampungan Tionghoa pun dibakar selama beberapa hari. Peristiwa tersebut memicu perlawanan etnis Tionghoa di seluruh Pulau Jawa. Namun, Belanda melalui VOC berhasil memenangi pertempuran tersebut.

Dampaknya, VOC melakukan kontrol secara lebih ketat terhadap etnis Tionghoa. VOC menetapkan kebijakan pemisahan antara etnis Tionghoa dan pribumi. Bentuk nyata kebijakan tersebut berupa adanya Sistem Zona dan Sistem Surat Izin Jalan.

Dalam Sistem Zona, masyarakat Tionghoa diisolir dalam satu komunitas yang terpisah dari komunitas pribumi. Sementara itu, dalam Sistem Surat Izin Jalan, masyarakat Tionghoa dapat keluar dari zona mereka jika memiliki surat izin jalan. Pelanggaran terhadap kebijakan ini terancam hukuman berat.

Sayangnya, kebijakan rasis terhadap kaum Tionghoa masih berlangsung hingga Indonesia merdeka. Meskipun diberi kebebasan berpolitik dan berekonomi, secara sosial, kaum Tionghoa dianggap sebagai orang lain. Hal tersebut terjadi hingga masa pemerintahan Orde Baru.

Rasisme dapat disebabkan berbagai faktor, seperti kebijakan penguasa, kesenjangan sosial, dan aspek sejarah. Seteru antara suporter sepak bola Inggris dan suporter Jerman disebabkan sejarah peperangan antara Nazi Jerman dan beberapa negara di Eropa, khususnya Inggris. Sementara itu, rasisme terhadap etnis Tionghoa di Indonesia terjadi karena faktor kebijakan penguasa dan kesenjangan sosial.

Sesungguhnya, akar permasalahan rasisme adalah ketidakmampuan kita menerima perbedaan. Kita terlanjur terjebak pada kategorisasi-kategorisasi ras atau etnis tertentu sehingga muncullah sikap etnosentris. Padahal, fungsi perbedaan antargolongan manusia di muka bumi ini hanya satu, yaitu agar kita saling mengenal satu sama lain, bukan saling menyakiti. Dengan saling mengenal, akan terjalin ikatan kasih sayang, bukan benih-benih permusuhan.

2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun