Mohon tunggu...
Irsyad Sirsad
Irsyad Sirsad Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Semoga beruntung!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamar Itu

28 April 2014   16:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:06 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu tak pernah menyambangi kamar itu lagi. Sejak terakhir kali kamar itu dibuka, tak ada satu pun orang di rumah ini yang berani memutar gerendel pintu kamar itu.

Kamar itu berada di lantai dua. Letaknya di pojok belakang. Paling-paling hanya Bibi Suni yang sering menyapu lantai di depan kamar itu, tanpa membukanya. Ibu tak mengizinkan siapa pun masuk meski hanya untuk membersihkan perabot kamar. Di bagian luar pintu masih terdapat tulisan “kamar Santi”.

Tadinya ibu ingin agar kamar itu dihilangkan dari denah rumah. Dinding pembatas kamar itu akan di rubuhkan sehingga kamar itu menjadi satu dengan ruangan lain. Dengan begitu, kamar itu benar-benar hilang dari rumah ini.

Tapi ayah menolaknya. “Biarkan sisa bayangannya hidup di rumah ini. Kita tak perlu benar-benar melupakannya hanya untuk mengobati luka di hati kita. Biarkan kamar itu tetap di sana. Terkunci,” kata ayah menolak usulan ibu. Ibu mengangguk pelan dengan wajah muram.

Dalam hati, ibu memang tak benar-benar berniat melupakan Santi. Segala kenangan indah selama dua puluh tahun seperti roll film yang terus berputar di ingatan ibu. Keindahan yang menyesakkan.

Suatu hari ibu ingin menjemur pakaian di selasar lantai dua. Sejak beberapa hari lalu Bibi Suni tidak masuk karna izin pulang kampung. Otomatis segala tugas Bibi Suni digantikan ibu sementara waktu.

Siang itu angin cukup kencang. Rasanya ibu seperti tak ingin lagi menaiki anak tangga ke lantai dua meski sekadar menjemur pakaian. Tiap menginjakkan kaki di anak tangga, ingatan ibu selalu berlarian ke masa-masa yang terasa sangat dekat. Baru saja berlalu.

Selama menjemur pakaian, ibu memendam sejuta perasaan. Tiap kali teringat kamar itu, besar keinginan di hati untuk masuk. Tapi itu tak kan mengubah apa pun. Tak kan menyembuhkan sejengkal luka pun. Justru sayatan luka itu akan semakin lebar dan dalam.

Setelah pakaian-pakaian itu tergantung di tali jemuran, langkah ibu terhenti begitu hendak menuruni anak tangga. Mata ibu memandang tajam. Telinganya berusaha mendapatkan suara yang baru saja ia dengar. Bulu romanya berdiri. Sekujur tubuh ibu bergidik.

Sejak masa kelam itu, ibu memang sangat merindukan Santi. Lama sudah suara mungilnya tak bergaung di dinding-dinding rumah ini. Langkah-langkah kakinya selalu terdengar ketika berlarian di lantai dua. Tawa riangnya selalu memecah suasana beku di rumah.

Ibu menoleh ke arah kamar Santi. Cukup lama. Ia memastikan suara itu memang berasal dari sana. Tapi ibu tak berani melangkah meskipun gejolak di hatinya memerintahkannya bergegas memutar gerendel kamar itu. Sekali lagi ibu mendengarnya. Ibu semakin heran, semakin tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Tapi kedua kakinya membeku seolah seseorang memeganginya agar tidak melangkah ke kamar itu.

“Ayah sudah berangkat sepagi tadi besama Rita. Jelas itu bukan Bibi Suni,” kata ibu kepada dirinya sendiri. “Apa kamu sudah pulang, Nak? Santi?”

Perlahan-lahan ibu melangkahkan kakinya yang serasa berat. Ingatan ibu berputar-putar ke masa-masa ketika ia setiap pagi menuju kamar itu lalu keluar bersama seorang gadis cantik. Mereka keluar dari kamar itu sambil berpelukan dan saling mencandai. Tapi kini berbeda.

Saat engsel pintu mulai diputar ibu, suara itu menghilang. Aroma tak sedap segera menyembul keluar dari dalam kamar. Sangat gelap. Tapi mata ibu masih dapat menangkap sebuah bayangan yang bergerak. Lama kelamaan bayangan itu semakin jelas. Mata ibu terbelalak!!

Seseorang bergerak-gerak dalam selimut di atas ranjang. Tapi tak nampak sedikit pun tubuhnya. Meski ruangan sangat gelap, siapa pun dapat menangkap gerakan itu. Segala rasa bercampur aduk di hati ibu. “Kaukah itu, Santi? Bangun, Nak! Sudah siang!”

Ibu mulai mendekati ranjang. Gelap. Sangat gelap. Beberapa perabot dalam kamar dipenuhi sarang laba-laba. Bahkan, sesekali ibu menepis sarang laba-laba yang mengenai wajahnya. Pandangan ibu tak teralih. Begitu sampai di sisi ranjang, nafas ibu semakin cepat. Berlomba dengan detak jantungnya.

Orang di balik selimut itu sesekali masih tampak bergerak. “Santi,” ibu memanggil lirih. “Kaukah ini?”

Tangan kanan ibu berusaha meraih ujung atas selimut untuk membukanya. Ketika berhasil meraihnya, perlahan-lahan ibu mulai membuka selimut itu. Sebuah tangan meraih tangan kiri ibu dari belakang. Dengan cepat ibu menghindarinya dan segera menoleh ke belakang. Dengan detak jantung yang makin cepat, ibu mengerahkan sisa tenaganya untuk membalikkan badan.

Ibu tak menyadari saking kagetnya, ia terduduk di ranjang. Ia ingin belari keluar kamar. Tapi kakinya semakin berat melangkah. Terasa seolah kakinya dipegangi dua orang. Satu memegangi kaki kiri dan satu lagi kaki kanan. Ibu menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tetap saja tak ada siapa pun di kamar itu.

Pandangan ibu beralih ke selimut tadi. Tapi ternyata selimut itu sudah tidak ada. Hanya nampak sebuah bantal dan guling yang tersusun rapi di atas ranjang. Ibu berdiri memastikan keberadaan selimut tadi. Tapi ibu tak menemukannya.

“Brak!!!”

Pintu kamar itu tertutup sendiri. Keringat ibu semakin deras keluar dari pori-pori. Karna kaget, tanpa sadar ibu berjalan mundur ke belakang, ke arah dinding. Kini ibu tak dapat melihat apa pun. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui celah-celah kecil. Tapi tak cukup sebagai penerangan.

Sebuah bayangan tampak berlarian di kamar itu dan menimbulkan suara gaduh disertai tawa cekikian seorang perempuan. Ibu terduduk dan menundukkan kepalanya. Ia menutup telinganya dan memejamkan mata. Suara gaduh dan tawa itu makin terdengar keras di telinga ibu. Makin terdengar jelas. Ibu mulai menangis.

Sepasang tangan memegangi ibu dengan sangat kuat. Ibu tak sanggup melihat gerangan itu. Ia tetap menunduk dan menutupi kepalanya dengan kedua tangan. tawa cekikian itu kini berada tepat di sampingnya. Sangat keras. Sangat menakutkan.

Di luar angin masih berhembus kencang. Satu dua pakaian di jemuran melayang jatuh. Sebuah mukena putih bahkan melayang agak jauh dan jatuh di halaman depan.Terdengar sebuah jeritan dari rumah berlantai dua itu. Tapi siang itu, tak ada satu orang pun yang menyadarinya. Hanya ada hingar bingar angin yang menubruk segala benda. Menghempas segalanya.

2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun