Sebagian masyarakat berpandangan kerja kantoran adalah jenis pekerjaan menjanjikan. Apa pun posisinya, pekerja kantoran dianggap sebagai pekerja mapan yang masuk pagi pulang petang dengan gaji bulanan. Bahkan, dalam suatu kasus, seorang bapak menolak pemuda yang ingin melamar anaknya. Alasannya, si calon menantu wirausahawan ikan hias, bukan pekerja kantoran.
Lalu, bagaimana dengan profesi sebagai penulis?
Belakangan ini Wahyu (bukan nama sungguhan) digosipi tetangga. Dia baru saja membeli mobil baru. Rumahnya pun direnovasi. Selain itu, tetangga sering melihat perabotan elektronik baru diantar seseorang ke rumah Wahyu. Ada kulkas baru, televisi baru, mesin cuci baru, dan lain-lain.
Gunjingan tetangga bukan tanpa alasan. Wahyu bukan pekerja kantoran. Dia mengaku tidak menjadi karyawan di perusahaan mana pun. Selain itu, dia juga tidak mengelola bisnis apa pun. Singkat cerita, tetangga berkata, “Pengangguran kok mampu beli ini itu? Duit dari mana?”
Usut punya usut, Wahyu seorang penulis lepas. Dia menulis opini dan artikel di berbagai media massa. Selain itu, dia juga menulis cerpen, cerbung, novel, bahkan baru-baru ini mendapat kontrak untuk menulis naskah sinetron kejar tayang. Dari honor menulis itulah Wahyu mampu membeli berbagai barang.
Meskipun telah mengetahui info tersebut, tetangga masih tidak percaya. “Apa mungkin penghasilan dari menulis sebegitu besar?” seloroh tetangga.
Cerita tersebut menegaskan masyarakat masih tidak percaya bahwa menulis bisa menjadi profesi menjanjikan. Jika dilakukan secara total, tentu menulis dapat dijadikan sumber pendapatan. Namun, jika dilakukan secara setengah-setengah, sekadar mengisi waktu, hasil yang diperoleh pun tidak maksimal.
2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H