Mohon tunggu...
irsan asari
irsan asari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cobalah untuk memulai kebaikan dan cobalah untuk mengakhiri keburukan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu, Ibu, Ibu

3 Januari 2015   17:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:54 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Alkisah seorang pria yang taat beribadah bernama Alqomah hidup di zaman Nabi. Tetapi kini ia terbaring lesu tak berdaya di atas tempat tidurnya. Ajalnya di ujung tanduk, sedang sakratulmaut menjamahnya mengakhiri kisah hidupnya.

Walaupun dia termasuk sosok yang taat beribadah dan lisannya tentu saja tidak pernah absen melafalkan kalimah syahadat, tetapi anehnya ketika ajal menjemput tiba-tiba lidahnya kelu mengucap dua kalimat itu.

Sontak saja peristiwa ganjil itu mengagetkan keluarga dan teman-temannya yang selama ini mengenali dia sebagi sosok yang baik dan taat beribadah. Di sisi lain mereka juga tak tega melihat Alqamah tak kuasa menahan perihnya sakratulmaut sedang kematian tak juga kunjung datang.

Peristiwa itu akhirnya sampai juga ke telinga Rasulullah, melalui seorang sahabat yang diutus langsung oleh istrinya. Seolah telah paham, beliau bertanya, apakah dia masih memiliki kedua orangtua? Kemudian sahabat itu menjelaskan bahwa ia masih memiliki seorang ibu yang sudah tua renta.

Singkat kata, bertemulah Rasulullah dengan ibunya itu. Dari keterangan ibunya, Rasulullah mengetahui bahwa pria yang sedang mengalamai sakratulmaut berkepanjangan itu adalah sosok yang taat beribadah. Namun ibunya berterus terang bahwaia marah kepada anaknya itu, karena sesuatu hal yang kurang berkenan telah mencederai hatinya. Ia marah dan tidak meridhainya.

Ibunya menjelaskan bahwa anaknya itu lebih mengutamakan istrinya dibandingkan kepadanya sebagai ibu kandungnya.

Rasulullah akhirnya membujuk ibunya untuk segera memaafkan kesalahan-kesalahan putranya itu. Beliau bersabda, "sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqamah, sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”

Namun sang ibu masih bersikeras & berat hati untuk mengikhlaskan dan memaafkan anaknya itu. Padahal, di pembaringan Alqomah masih terbujur kaku tersiksa sakratulmaut antara hidup dan mati, sedang lidahnya kelu seolah terkunci untuk mengucap kalimah syahadat.

Mendapat jawaban dari ibunya, Rasulullah saw., tiba-tiba memerintahkan Bilal untuk mengumpulkan kayu bakar. Sontak saja ibunya terheran-heran, “Wahai Rasulullah, apa yang hendak engkau perbuat?” tanyanya heran.

Beliau menjawab, “Saya akan membakarnya di hadapanmu.Wahai Ibu Alqamah, lanjutnya, "Sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqamah, demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,”

Mendengar jawaban Rasul, sontak saja naluri keibuannya muncul, Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini, bahwa saya telah ridha pada anakku Alqamah”.

Kisah singkat di atas adalah kisah masyhur yang telah jamak diketahui. Kisah yang banyak para dai ceritakan di hadapan para jamaahnya tentang kewajiban birrul walidaini, berbakti kepada kedua orangtua.

Dalam Islam berbakti kepada kedua orangtua bukan sekedar anjuran melainkan kewajiban yang mutlak. Seorang anak yang memuliakan kedua orangtuanya akan mendapatkan jaminan berupa pahala kebaikan di dunia dan jaminan surga-Nya di akhirat kelak. Sebaliknya, peringatan yang keras bagi orang yang berlaku durhaka terhadap kedua orangtuanya,­—berupa kesempitan hidup di dunia dan jahannam yang menyala-nyala di akhirat-Nya.

Di zaman yang batas antara kebaikan dan keburukan sangatlah tipis ini, ajaran memuliakan kedua orangtua yang membumi dan diajarkan oleh setiap agama kini kian memudar. Ajaran itu sedikit demi sedikit tenggelam dari urat nadi keluarga kita.

Anak-anak dengan mudah berbicara lantang di depan orangtuanya. Mereka berani memarahi, memperlakukan mereka dengan kasar, bahkan diperintah bak seorang pembantu. Fenomena tersebut kini sudah tak asing lagi. Kejadian seperti itu amat mudah kita temukan, bukan saja terjadi di kalangan orang yang tak berpendidikan tapi juga marak terjadi pada keluarga yang berpendidikan bahkan mengerti agama.

Beberapa minggu yang lalu muncul beberapa kasus yang sangat memilukan hati, seorang anak menggugat ibunya di depan pengadilan atas sengketa rumah/tanah yang mereka tempati.

Baru-baru ini peristiwa yang menghebohkan terjadi di Tangerang, kasus nenek Fatimah yang berumur 90 tahun yang digugat oleh anak kandung dan menantunya sebesar Rp1 miliar ke Pengadilan Negeri (PN)Tangerang atas kasus sengketa tanah.

Janda delapan anak tersebut digugat anak keempatnya. Selain gugatan materiil sebesar Rp1 miliar sebagai ganti rugi, nenektersebut juga digugat untuk pergi dari lahan yang kini menjadi tempat tinggal mereka.

Kasus yang sama juga terjadi di Malang, kemudian muncul lagi di Sukabumi dan mungkin masih banyak kasus-kasus lain, bahkan ada yang sampai tega membunuh kedua orangtuanya. Naudzubillah.

Kasus di atas tentu saja membuat kita geram sebagai orang yang masih dikaruniai akal waras dan nurani yang masih hidup. Entah apa yang terlintas dalam pikiran mereka, hingga tega memperkarakan orangtuanya ke pengadilan,---seseorang yang dalam dirinya terdapat darah daging yang mengalir dan memberinya kekuatan untuk tetap hidup. Yang paling berjasa membesarkan dan mendidik mereka hingga dewasa---hanya untuk mendapat keuntungan materil dengan jalan yang dimurkai.

Sebagai anak mestinya kita semua bekerja keras agar dapat memberikan sesuatu yang terbaik sebagai balas jasa atas keringat yang orangtua cucurkan walaupun itu tidak akan pernah sebanding dengan jasa dan perjuangan yang mereka berikan untuk kita.

Berbakti kepada kedua orangtua termasuk kewajiban dan amalan yang utama. Al-Qur’an surah Al-Isra [17]: 23 menegaskan;

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”

Dalam surah lain:

Dan Kami perintahkan kepada manusia [berbuat baik] kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun [1] Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Simaklah dalam ayat di atas, Allah Swt. menempatkan perintah berbakti kepada orangtua setingkat setelah perintah mentauhidkan-Nya. Hal ini mengisyaratkan betapa perintah birrul walidaini begitu pentingnya di sisi Tuhan. Pantaslah jika durhaka kepada orangtua termasuk kategori kabaair (dosa besar).

Ibnu Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah. “Ya Rasulullah amalan apakah yang paling dicintai Allah Swt?”  Rasulullah menjawab, “Shalat tepat waktu”, kemduian ia bertanya lagi, “lalu apalagi?” Rasul menjawab, “birrul walidaini” kemudian ia bertanya lagi, “lalu apalagi?” Rasul menjawab, “Jihad fi Sabilillah.

Rasulullah saw., bersabda; “Rida Allah, ada dalam rida kedua orangtua, dan kemurkaan Allah ada dalam kemurkaan kedua orangtua”

Dalam hadis lain Rasulullah saw., bersabda; “Tiga perkara yang membatalkan amal kebaikan; syirik kepada Allah, durhaka kepada orangtua, dan kabur dari medan peperangan.”

Bahkan dalam hadis lain Rasulullah menegaskan bahwa, “sesungguhnya surga itu di bawah telapak kaki ibu.” Telapak kaki adalah tempat terendah dalam tubuh manusia, sedangkan surga adalah tempat tertinggi. Artinya seorang anak tidak akan pernah mencium bau surga jika ia tidak bisa memuliakan dan menghormati kedua orangtuanya.

Sekalipun kita berhasil dan sukses namun dalam keadaan tanpa keridoaan kedua orangtua, ingatlah kesuksesan itu tidak akan pernah mendatangkan kebahagiaan, karena cahaya keberkahan lari tungang-langgang menjauhi anak yang durhaka. Bahkan dalam hitungan hari, minggu, bulan atau tahun semua akan binasa dan hanya akan berbuah penyesalan.

Suatu saat Abu Burdah melihat Ibnu ‘Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Kakbah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

Orang itu lalu bertanya kepada Ibn Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”

Sayangilah orangtua kita, muliakan, dan taatilah mereka jangan lupa mengunjungi mereka walaupun kita hidup di luar kota. Tanggunglah setiap kebutuhan mereka semampunya selagi mereka masih hidup, selagi kita masih punya kesempatan.

Seringkali kita taat patuh dan hormat kepada atasan tetapi betapa mudahnya kita melupakan kedua orangtua kita di kampung sana. Buatlah mereka tersenyum bahagia melebihi apa yang pernah kau lakukan kepada atasanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun