Akhir bulan Agustus seribu sembilan ratus sembilanpuluh satu. Waktu itu aku sangat senang….lampiskan euforia bersama teman-teman alumni’91. Sudah “lepas” dari bangku SMA dan masuk “sangkar” kuliah. Sebuah ruangan yang membatasi aku. Membatasi hidupku untuk beberapa saat.
Seperti halnya mereka, teman-temanku yang lanjut kuliah, UMPTN telah berakhir dan kami terpampang di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Koran Jogja. Koran itu aku jadikan prasasti bagiku sendiri. Aku bisa ceritakan buat anak-cucu jika punya kesempatan.
Aku tidak tahu apa yang di-niat-kan mereka, tapi aku tetap ingin wujudkan keinginanku. Kuliah di IKIP…jadi ibu guru…..dst….dst……
Dan aku bawa bekal nasehat dan pesan dari ibuku. Perempuan yang melahirkanku, dan kemudian menjadi cikal-bakal bagi ke-empat cucu-nya saat ini.
“Nduk….ibumu gak bisa menemanimu di kota. Engkau akan sendirian di-sana saat mencari ilmu seperti yang engkau inginkan. Hati-hati, jaga diri baik-baik. Dengan engkau jaga diri-mu berarti engkau juga menjaga orang-orang di sekitarmu.”
“Nduk….tugasmu hanya belajar serta menimba ilmu sebanyak mungkin. Hanya itu saja. Engkau tak diberi tugas lain kecuali itu. Tidak cari uang tidak pula bantu orangtua. Satu tugas saja yang ibu dan bapak amanatkan kepadamu.”
“ Engkau telah berangkat dewasa saat ini, nduk….kami berdua telah menyiapkan diri sejak kelahiranmu. Saat anak perempuan kami siap menempuh jalannya sendiri. Sebagai seorang perempuan yang sempurna. Lahir dan batin.”
Seperti halnya ibu-ibu yang lain, tentu saja nasehatnya panjaaaaaaang…… Sebagai anak, aku berusaha untuk patuh pada orangtua. Dan bagiku, nasehat bapak dan ibuku seperti sebuah doktrin bagiku. Di masa seumurku, masa dimana paham “idealis” merasuk bagaikan jeratan jaring pada segerombolan ikan.
Dan hebatnya….doktrin dari ibu telah mampu menepis doktrin-doktrin “idealis” yang datang menyerbu pada diriku. Ya….. masa-masa idealis seumurku itu banyak dimanfaatkan seseorang atau sekelompok orang demi kepentingan mereka. Meraih tujuan mereka dengan dalih dan logika yang disesuaikan kepada masing-masing pribadi.
Saat ini aku baru menyadarinya. Setelah aku dianugerahi momongan sebagai amanat. Dan pada suatu saat, mereka juga akan sampai pada masanya.
Semoga saja aku masih diberi kesempatan untuk memberi doktrin-doktrin kepada anakku sendiri. Seperti yang aku terima dan aku jalani. Ya…masih ada waktu. Semoga.
Ngayogyakarta Hadiningrat, 14 Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H