Terjaga di tengah malam sembari menikmati tembang-tembang lawas yang menyenangkan telinga bersama band Chicago. Lumayan, aktivitas pengusir sepi yg mengasyikan. Apalagi ditemani sebotol air putih dingin yg menyegarkan, hmmm…. menyenangkan sekali.Membawa aku melupakan sedikit kepenatan. Sedikit saja sepertinya, itu sudah lebih dari cukup.hehehe
Tidak ada yang istimewa. Hanya mencoba mereview perjalanan hidup yang terkadang di luar dugaan dan harapan. Mencoba merasakan kembali apakah kerelaan hati ini benar-benar tulus atau sekedar kamuflase di bibir saja. Pertanyaan pertanyaan pun mulai berputar putar dikepala. Siap menginterogasi akal dan hati apakah berjalan seiring, atau malah cuek cuekan sok apatis antara satu dan lainnya.
Pertanyaan pertama muncul “pernahkan merasakan rasa kecewa, rasa sakit, serta ketidaknyamanan terhadap sesuatu hal didalam hidup? Perasaan yang hadir ketika hal yang diharapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.”. Hati dan akal spontan menjawab “Tentu saja.Bukan hidup bila tanpa masalah dan kegagalan” ujar mereka. Hati pun menambahkan “rasanya sakit sekali, tidak ada kata yang pas untuk menggambarkannya. Terlalu menyakitkan, rasanya tersayat-sayat, memuakkan, tidak ada kenyamanan disana. Ughhhhh, aku tidak suka!”ujarnya. Akal pun angkat bicara “Itu hal biasa, jangan berharap bila kau tak mau kecewa. Hukum sebab akibat, itu berlaku disana. Jangan bermimpi bila tidak siap jatuh teman!!!” Ujarnya.Hati hanya terdiam mencoba memaknai perkataan akal yang dirasa cukup mengena.
Kemudian pertanyaan kedua pun muncul “Apa yang dilakukan setelah merasakan perasaan itu?” . Hati menjawab “memaafkan, melupakan,dan mencoba berdamai dengan keadaan, setidaknya membuatku sedikit lega.”. “Sungguh??? Tapi mengapa ketika kau berada di masa kini, kau sering mengajakku kembali mengingat masa masa pesakitanmu teman. Apakah benar kau sudah melupakannya, apakah benar perkataanmu itu?” bantah akal. Hati terdiam sejenak, lalu berkata “Benar perkataanku itu, aku melakukannya. Aku memaafkan, aku melupakan, dan aku pun mencoba berdamai dengan keadaanku. Tapi aku memang tidak bisa menghapus kesemuanya, bekasnya masih tertinggal. Disini, didalam sini. Berkumpul seperti borok cacar yang tidak jua hilang, berbekas, bergores, dan itu nyata teman, nyata….” Ujarnya. “Sampai kapan kau akan menyiksa dirimu, hidup ditemani luka-luka, yang hanya akan memberimu luka-luka baru ketika kau kembali mengingat luka lamamu. Tidak adakah cara lain untuk bisa hidup dengan jalan yang lebih menyenangkan. Sampai kapan akan kau simpan borokmu itu? Buanglah, karena kau tidak membutuhkan itu semua. Jangan kau kotori dirimu dengan goresan goresan yang tidak berguna itu.” sahut akal. Hati pun menjawab “Mungkin mudah bagimu mengatakannya, membuang kesemuanya seperti membuang sisa makanan yang bagimu tak layak lagi untuk kau makan. Tapi ini berbeda, ia lekat….lekat sekali, seperti pahatan di atas batu, sulit untuk dihilangkan.” . “Sulit bukan berarti tidak mungkin. Semua hal itu mungkin, tapi kau membutuhkan perjuangan keras dan serius untuk itu semua. Ini pertarungan yang hebat teman, aku yakin kau mampu melakukannya. Aku ingin bisa membantumu, tapi rasanya itu bukan daerah kekuasaanku aku takut hanya akan mengusikmu, berjuanglah dengan caramu, cara yang kau yakini.”. “Iya, tapi aku tidak tau bagaimana cara membuangnya. Apa yang harus aku lakukan, aku sudah hampir terbiasa dengan ini semua. Aku menikmati meskipun ini menyakitkan. Dengan cara apa aku akan melakukannya???”. “Aku juga tidak cukup tau teman, maafkan aku.” Ujar akal sambil tertunduk lemas.
Sejenak keheningan menyelimuti. Masing-masing mencoba mencari jalan keluar yang selama ini belum sempat terfikirkan. Jalan keluar yang terbilang langka, namun akan memberikan warna yang jelas berbeda ketika kelak dapat diimplementasikan. Jalan yang akan membuat hati terbebas dari belenggu yang selama ini kerap menyiksanya. Keduanya termenung. Tiba-tiba bagian hati yang berwarna gelap bersinar, sinar putih yang terang tapi tidak menyilaukan. “Ikhlas, ikhlas, ikhlas….memaafkan dengan ketulusan yang penuh, memaafkan dengan logika yang mendasar, memaafkan tanpa ‘tapi’. Memaafkan tanpa tendensi ingin dimengerti, tanpa mengharap balasan, memaafkan hanya karena Allah….yakin bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Lakukanlah hanya karena Allah, lupakanlah semua hanya karena Allah….Berdamailah dengan keadaan karena keikhlasanmu…Lakukanlah semuanya dengan ikhlas….”. Akal dan hati tercengang, seolah terbius oleh anggukan masal. “Itu benar, Subhanallah…”ujar mereka bersama. “Aku akan melakukannya sekarang. Tidak akan aku tunda lagi.” Ujar hati. “Baiklah teman, lakukan hanya karena Allah…” sahut akal.
Hmmmmm……..Bila akal dan hati bisa berbicara, mungkin hal diatas akan sering terjadi. Setiap hari mereka akan beradu argumen, dan mungkin tiap hari pun kita akan disibukkan dengan perbincangan mereka. Syukur Alhamdulillah ternyata Allah tidak menggariskan hal itu, sehingga kita tidak harus sebegitu repotnya bercakap cakap dengan hati dan akal. Tapi bukanlah itu perkaranya teman. Keikhlasanlah yang menjadi temanya. Apakah selama ini kita sudah cukup ikhlas memaafkan keadaan, dan menerima kenyataan???? Apakah kita masih menyimpan bangkai bangkai luka yang seharusnya sudah kadaluarsa di dalam hati kita???? Apakah kita sudah cukup ikhlas selama ini???Memaafkan tanpa tendensi…..Apakah kita sudah melakukannya???Baiklah, mari sejenak kita renungkan….Apakah ikhlas dan maaf kita sudah merasuk sampai ke hati, atau hanya sebatas suara di pangkal kerongkongan saja….Cukuplah untuk malam ini…..Semoga kita termasuk orang-orang yang berfikir….Amin…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H