"More law, less justice" - Marcus Tullius Cicero
Kata "adil" berasal dari bahasa Arab dengan akar kata "adl" () yang memiliki arti "keadilan" atau "keseimbangan". Kata tersebut juga memiliki kaitan dengan konsep-konsep adil dalam bahasa-bahasa lain, termasuk dalam bahasa Indonesia. Etimologi "adil" mencerminkan makna dasar dari keadilan, yaitu memberikan perlakuan yang tepat, setara, dan seimbang kepada semua pihak tanpa ada diskriminasi atau penyelewengan. Istilah ini mencakup konsep kesetaraan, kejujuran, proporsionalitas, dan penegakan hukum yang adil.
Menurut Aristoteles, keadilan adalah salah satu dari empat kebajikan utama (cardinal virtues) yang mencakup kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), serta pengendalian diri (temperance). Aristoteles memandang keadilan sebagai kebajikan yang paling penting karena menyangkut hubungan antara individu dan masyarakat. Aristoteles membagi keadilan menjadi dua jenis, 1) Keadilan Distributif (distributive justice); dan 2) Keadilan Korektif (corrective justice). Dalam konteks hukum, prinsip keadilan atau "adil" melibatkan penerapan hukum yang objektif dan setara terhadap semua individu tanpa memihak atau berat sebelah. Ini berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, tanpa memandang status sosial, ras, agama, atau latar belakang lainnya. Konsep adil dapat bervariasi tergantung pada budaya, sistem hukum, dan pandangan filosofis yang ada di masyarakat.
Dialektika antara hukum dan keadilan mencerminkan hubungan dinamis antara keduanya. Meskipun hukum dan keadilan memiliki hubungan erat, juga memiliki perbedaan dan konflik potensial. Secara etimologi Hukum adalah kumpulan aturan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga yang berwenang untuk mengatur perilaku masyarakat. Hukum berfungsi sebagai kerangka kerja yang memberikan ketertiban, menetapkan hak dan kewajiban, dan memberikan sanksi bagi pelanggaran. Hukum didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang objektif dan berlaku secara umum.
Di sisi lain, keadilan melibatkan pertimbangan moral dan nilai-nilai yang lebih luas. Keadilan berkaitan dengan pengakuan dan perlakuan yang adil terhadap individu dan kelompok, serta pemulihan keseimbangan dan pemenuhan hak-hak yang wajar. Keadilan melibatkan pertimbangan atas kesetaraan, proporsionalitas, dan perlakuan yang manusiawi dalam memutuskan suatu kasus.
Dalam idealnya, hukum seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip keadilan. Hukum yang adil harus memperhatikan nilai-nilai moral dan keadilan yang diakui oleh masyarakat. Namun, terkadang hukum yang ada tidak sepenuhnya mencerminkan apa yang dianggap adil oleh individu atau kelompok tertentu. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan interpretasi, kepentingan politik, atau kesenjangan dalam perwujudan keadilan dalam sistem hukum.
Interpretasi keadilan ini sering kali saling berhubungan dan bisa menjadi subjek perdebatan dalam konteks hukum, etika, dan filsafat. Pemahaman dan penerapan keadilan dapat bervariasi tergantung pada nilai-nilai budaya, konteks sosial, dan sistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat. Konsep keadilan atau adil dapat bervariasi di antara individu dan kelompok-kelompok. Pandangan subjektif dan perbedaan nilai-nilai yang berbeda dapat menyebabkan pandangan yang beragam tentang apa yang dianggap adil. Dalam konteks ini, adil dianggap sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, dan individu.
Meskipun sistem hukum bertujuan untuk mencapai keadilan, tidak ada sistem hukum yang sempurna hingga saat ini dalam sistem ketatanegaraan. Sistem hukum dapat memiliki celah, kekurangan, atau kebijakan yang tidak selalu menghasilkan hasil yang adil dalam setiap kasus. Ketidaksempurnaan ini dapat menghasilkan persepsi bahwa keadilan adalah sebuah ilusi. Dalam banyak kasus, keadilan dapat dipengaruhi oleh ketidakseimbangan kekuasaan di dalam masyarakat. Faktor-faktor seperti kekayaan, status sosial, atau pengaruh politik dapat mempengaruhi cara keadilan diterapkan. Hal ini dapat menghasilkan pandangan bahwa keadilan sebenarnya hanya melayani kepentingan pihak yang berkuasa, sementara keadilan untuk individu biasa sering kali sulit dicapai.
Adanya situasi di mana hukum dan keadilan saling bertolak belakang atau tidak selalu sejalan, sebanding dengan pernyataan bahwa keadilan adalah bentuk simulacra mengacu pada pandangan bahwa keadilan itu sendiri adalah suatu konstruksi sosial atau simbol yang tidak memiliki referensi atau substansi objektif di dunia nyata. Simulacra adalah konsep yang dikembangkan oleh filsuf Jean Baudrillard yang merujuk pada representasi yang tidak lagi memiliki keterhubungan dengan realitas yang asli. Menurut Baudrillard, dalam era pasca-modern, realitas itu sendiri telah digantikan oleh simulasi, di mana representasi atau citra yang dibuat oleh media, teknologi, dan budaya massa menjadi lebih dominan daripada realitas yang sebenarnya.
Dalam konteks keadilan, pandangan ini menyiratkan bahwa apa yang kita sebut sebagai keadilan hanyalah representasi atau simbol yang diciptakan oleh masyarakat atau sistem hukum, tanpa adanya dasar objektif yang dapat diukur atau diakses secara langsung. Dalam pandangan ini, keadilan dianggap sebagai ilusi atau semacam permainan kata-kata yang digunakan untuk membenarkan kekuasaan atau menjaga stabilitas sosial.
Pendekatan semacam ini mempertanyakan objektivitas keadilan dan menggambarkan keadilan sebagai konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah tergantung pada perspektif, nilai, dan kepentingan yang dominan dalam suatu masyarakat. Pandangan ini juga menekankan bahwa interpretasi dan penerapan keadilan dapat dipengaruhi oleh kekuasaan politik, ideologi, atau norma sosial yang dapat menyebabkan ketimpangan atau ketidakadilan dalam praktiknya.
Terdapat situasi di mana hukum yang sah bertentangan dengan nilai-nilai moral atau keadilan yang diakui oleh individu atau kelompok tertentu. Dalam kasus seperti itu, individu mungkin menghadapi dilema etis dalam mematuhi hukum atau mengikuti keyakinan moral mereka. Keadilan dapat terancam ketika individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan atau pengaruh yang besar memanfaatkan hukum untuk keuntungan pribadi atau untuk menekan pihak lain. Hal ini dapat menghasilkan ketidakadilan sistemik atau pengabaian terhadap keadilan yang lebih luas.
Pandangan tentang keadilan sebagai realitas atau ilusi tergantung pada perspektif dan konteks pemahaman yang digunakan sebagai Perdebatan filosofis yang kompleks. Dalam pandangan keadilan sebagai realitas melihat keadilan sebagai prinsip atau kebenaran moral yang dapat diidentifikasi dan diukur secara obyektif. Pandangan ini menekankan bahwa ada standar keadilan yang objektif yang berlaku untuk semua individu dan situasi, dan mencapai keadilan adalah tujuan yang dapat dikejar secara nyata. Sedangkan Keadilan sebagai ilusi memandang sebagai konsep yang relatif, tergantung pada perspektif, nilai, dan kepentingan yang dominan dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini menyoroti kompleksitas dalam penentuan keadilan, serta tantangan dalam menerapkannya secara konsisten dan adil dalam realitas sosial dan politik.
Terdapat juga pandangan yang mengambil posisi tengah, yaitu pandangan bahwa keadilan memiliki elemen objektif dan subjektif yang saling terkait. Artinya, sementara ada prinsip-prinsip dan standar yang dapat dianggap obyektif dalam keadilan, penafsiran dan penerapannya juga melibatkan perspektif dan konteks individu serta masyarakat. Diskusi tentang keadilan sebagai realitas atau ilusi melibatkan refleksi filosofis dan moral yang mendalam. Setiap pandangan memiliki implikasi yang kompleks terhadap pemahaman kita tentang keadilan dan bagaimana kita berusaha mencapainya dalam masyarakat.
Dialektika antara hukum dan keadilan terjadi ketika kebutuhan akan perubahan hukum muncul untuk mencapai keadilan yang lebih baik. Harapan akan keadilan dapat menjadi dorongan untuk merevisi atau mengubah hukum yang ada agar lebih sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi keadilan yang dianut oleh masyarakat. Sebaliknya, hukum juga dapat berperan dalam memberikan kerangka kerja dan alat untuk mewujudkan keadilan dalam praktiknya. Dialektika antara hukum dan keadilan adalah agar hukum tetap relevan dan responsif terhadap perkembangan sosial dan nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat.
Sambil mengernyikan dahi, kita boleh merenung saat membaca kata William Gaddis, bahwa : "Justice? You get justice in the next world, in this world you have the law".....
(IFA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H