Mens Sana in Corpore Sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Begitu yang tertanam dalam benak sebagian besar orang sejak kecil. Tapi mengapa belakangan ini makna adagium tersebut terasa meragukan. Bukti empiris seakan-akan mematahkan adagium yang begitu terkenal sejagat raya.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa para koruptor, penyebar ujaran kebencian, influencer “kacangan”, pelaku perundungan tidak pernah berolah raga sehingga mengakibatkan jiwanya tidak sehat. Faktanya para koruptor banyak yang gemar berolahraga, golf misalnya.
Mengolah raga atau berolah raga dianggap salah satu upaya untuk menyehatkan tubuh, menyeimbangkan pikiran dan memperbaiki suasana hati. Hasil dari kegiatan mengolah raga diharapkan akan berjiwa sehat. Tentu mudah dipahami jika seseorang berjiwa sehat maka kinerjanya di bidang apa pun bisa menjadi baik. Baik bukan berarti memliki banyak uang, menjadi petinggi atau menjadi orang terkenal. Tetapi baik itu “waras”. Jika ia waras pasti tidak korupsi, tidak berbohong dan menyebarluaskannya, serta tidak melakukan perundungan.
Rupanya di zaman yang sudah mendekati masa baktinya, berolah raga saja tidak cukup untuk mendapatkan jiwa yang sehat. Mengolah raga tidak dengan serta merta mampu menghasilkan orang yang amanah, baik budi dan welas asih atau berjiwa sehat.
Jiwa yang sehat menjadi “barang” langka di masa sulit ini tidak bisa dihasilkan dari satu variabel saja. Tetapi kombinasi dari mengolah raga, mengolah rasa dan mengolah batin.
Mengolah raga jelas akan menghasilkan fisik yang berdaya tahan tinggi. Jika tubuh sehat maka akan mampu melakukan banyak hal. Mengolah rasa bertujuan agar manusia punya tenggang rasa, turut merasa yang orang lain rasakan “empati”, peka, serta memiliki rasa malu dan welas asih. Sedangkan mengolah batin menghasilkan pikiran yang “lurus”, tidak cenderung “bengkok”. Untuk mengolah batin yang paling mudah dan sangat manjur menggunakan ancangan agama karena di dalamnya sudah memuat aturan-aturan serta etika moral yang lengkap.
Jika seseorang menyandarkan hidup ini pada dunia, maka hampir dipastikan akan gagal menyelaraskan tiga olahan tersebut. Sebenarnya tidak perlu ilmu tingkat dewa untuk berhasil menjadi orang yang berjiwa sehat, cukup sadar saja bahwa dunia hanya persinggahan. Begitu membuka mata kembali, mungkin kita sudah berada di alam yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H