Saya terhenyak membaca takzim akhir editor Kompas.com dalam newsletter@kompas.com “Salam palsu”. Bumi pertiwi memang sedang dalam kondisi “gonjang-ganjing”.
Banyak persoalan yang harus diselesaikan oleh pemerintah, terutama persoalan kepatuhan kepada hukum yang kerap masih tampak tajam ke bawah tumpul ke atas. Ditambah lagi serangan Covid-19 yang datang tiba–tiba dan ternyata pemerintah tak sigap, masyarakat tidak siap menerima kehadirannya.
Palsu dalam KBBI bermakna tidak tulen; tidak sah; lancung; tiruan; gadungan; curang; tidak jujur. Jika janji yang diucapkan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan, maka janji itu menjadi janji palsu. “Kepalsuaan” dalam beragam aspek kehidupan tampak berjalan seiring dengan peradaban manusia.
Oleh karena itu masyarakat pada umumnya hampir tidak menyadari bahwa yang dihadapi adalah kepalsuan karena sudah merasuk sukma.
Kerap kali sesuatu yang palsu digemari pula oleh banyak orang, bahkan membeli, menggunakan dan menjadi “pemuja fanatik” dengan kesadaran terhadap sesuatu yang diketahuinya memang palsu.
Ini sebuah contoh kepalsuaan yang membuat hati terasa miris. Pada saat Pemilu 2019, seorang anggota DPD terpilih digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh pesaingnya yang kalah. Alasan gugatan tersebut karena anggota DPD terpilih menggunakan foto “palsu” yaitu foto diri yang sudah direkayasa menjadi cantik, kemudian dipasang di surat suara dan alat kampaye lain. Walhasil, masyarakat memilihnya karena kepalsuan foto tersebut.
Jika merujuk kepada KBBI tidak ada satupun makna kata palsu yang memiliki makna positif, kecuali “gigi palsu” sebutan untuk gigi tiruan. Semoga saja takzim akhir “Salam palsu” bukan bermaksud berpihak kepada kepalsuan seperti layaknya “Salam sayang”, “Salam rindu”, "Salam hormat" atau Salam sehat”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H