Belakangan ini sangat banyak kejutan di bumi nusantara, seperti jumlah kasus Covid-19 yang enggan melandai, penetapan tersangka kepada seorang Jaksa dan Pengacara dalam perkara terkait "membantu" seseorang yang buron selama sebelas tahun. Belum lagi kabar mengenai keterlibatan seorang perempuan pada kasus pembunuhan (mutilasi).Â
Ketiga perempuan yang dinyatakan sebagai tersangka oleh yang berwenang atas keterlibatannya pada perkara dugaan penerimaan suap  atau pembunuhan di atas mempunyai pendidikan tinggi, bahkan dua orang yang disebutkan di atas berpendidikan doktor. Sedangkan salah satu pelaku pembunuhan, lulusan sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia.
Ternyata mengenyam pendidikan tinggi bahkan sampai dengan tingkat yang disebut sebagai "orang yang sangat terpelajar" gagal menghentikan nafsu angkara murka. Bukankah alasan dibalik perbuatan durjana tersebut hanya "sekadar" persoalan kesenangan "hedonisme". Misalnya operasi plastik untuk mempercantik wajah, plesiran ke luar negeri dengan fasilitas kelas atas atau membeli kendaraan bermotor serta barang-barang yang tampak bukan primer.
Berseberangan dengan hal di atas, seorang nenek yang tinggal di Kabupaten Mojekerto, Piyati  (80 tahun) dan mantan Pesuruh pada sebuah organisasai para Veteran,  Mbah Wardi (82 tahun) dari Kabupaten Kulon Progo mengembalikan Bantuan Langsung Tunai (BLT ) yang dibagikan pemerintah.Â
Nenek dan kakek itu merasa malu menerima bantun  karena menganggap masih banyak orang yang membutuhkan. Menilik profesi nenek dan kakek yang luas hati tersebut, mereka pasti bukan lulusan perguruan tinggi manapun juga apalagi perguruan tinggi terkemuka. Bahkan, mungkin bukan pula lulusan sekolah menengah.
Pendidikan, apalagi pendidikan tinggi sejatinya bukan hanya menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan bernalar tinggi tetapi juga memiliki moral yang baik. Bukankah menolong orang yang sedang "buron" atau melakukan pemufakatan jahat dan menghilangkan nyawa orang semata-mata demi uang merupakan tindakan yang  amoral? Apakah ini  sebuah kegagalan pendidikan ?
Rupanya pendidikan kesulitan menuangkan kebersihan hati, akhlak yang terpuji dan menekan nafsu angkara murka ke dalam kurikulumnya. Andaipun  tertuang, tampaknya belum memuat langkah-langkah yang jelas untuk menjadi orang yang bermoral dan cara mengukur ketercapaiannya.Â
Memang tidak terlalu mudah bagi manusia untuk selalu menjadi baik budi. Lingkungan hidupnya, nafsunya, keadaan ketika dilahirkan, dan lain-lain "mengganggu" hidup manusia. Manusia  memiliki nafsu yang cenderung pada hubbud dunya "cinta dunia", sifat tergesa-gesa dan lupa demi mencapai tujuannya.Â
Maka tidak mengherankan jika perbuatan yang melukai rasa hati orang lain dapat dengan mudah dilakukan oleh orang yang relatif berpendidikan tinggi, misalnya korupsi, penyalahgunaan kewenangan dan banyak lagi. Tentu ketiga orang yang saya sebut di atas tidak bisa dengan serta merta dipandang sebagai ketewakilan orang lain.
Nenek Piyati dan Mbah Wardi pasti tidak pernah paham perihal muatan kurikulum, merekapun pasti tidak mengetahui bahwa ada sekolah yang menghasilkan "orang yang sangat terpelajar", merekapun pasti tidak bisa mendefinisikan makna kata moral. Tapi  prilaku mereka sangat bermoral dan pasti menyadari bahwa hidup di dunia hanyalah bagian dari rahasia Ilahi Sang Pemilik Semesta Alam Raya untuk mencapai langit, negeri yang kekal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H