Pemberlakuan New Normal pada masa pandemi COVID-19 di sebagian besar wilayah Indonesia sudah berlangsung sekurang-kurangnya tiga bulan. Tentunya banyak alasan yang mendasari pemerintah untuk menetapkan masa pengubahan pola hidup yang dikenal dengan new normal itu.
Jauh sebelum itu, WHO telah menetapkan bahwa salah satu syarat bagi negara-negara yang akan mengambil kebijakan new normal adalah bukti yang menunjukkan bahwa transmisi Covid-19 dapat dikendalikan di negara atau wilayah yang akan menerapkan new normal.
Detikhealth.com pada tanggal 6 September 2020 melansir berita bahwa kasus baru Covid-19 di Indonesia berjumlah 3.444 kasus dengan total kasus 194.109. Ini artinya jumlah penderita Covid-19 di Indonesia hampir mencapai 200.000 orang sejak pertama kali kasus Covid-19 ditemukan di Indonesia.
Jika ingin menghubung-hubungkan antara salah satu persyaratan WHO bagi negara yang ingin menerapkan kebijakan new normal dengan penambahan jumlah penderita Covid-19, tampak kasus Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan terkendalinya transmisi virus tersebut.
Nampaknya, memang masih sangat banyak permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah baik pusat maupun daerah tekait penanganan Covid-19 yang terus meningkat. Penanganannya pun tidak bisa “normal-normal” saja, harus “abnormal” karena berkejaran dengan waktu.
Oleh karena itu ajakan bijak Presiden Jokowi untuk hidup 'berdamai' dengan COVID-19 hingga ditemukannya vaksin (diunggah di laman resmi presiden, 6 Mei 2020) cukup masuk diakal. Tetapi rupanya tidak terlalu mudah bagi semua khalayak menerjemahkan dan menerapkannya dalam berbagai sendi kehidupan.
Belum lagi tuntutan ekonomi yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja yang membuat masyarakat menjadi sulit untuk tidak menjaga jarak raga, menghindari kerumunan misalnya. Maka tidak heran jika klaster baru bermuculan, seperti klaster perkantoran dan klaster keluarga.
Memang tidak mudah jika pola hidup new normal yang belum dipahami sepenuhnya harus dipertentangkan dengan virus yang “berkelakuan” abnormal. Apalagi ditambah dengan masyarakat yang acap kali masih belum menyadari sepenuhnya kecepatan transmisi Covid-19, bahkan cenderung mengabaikan.
Mungkin perlu juga diberlakukan protokol yang sangat ketat untuk aktivitas yang sifatnya berkumpul kerian, pergi bersama keluarga, piknik, saling mengunjungi yang dulu dianggap normal dan menjadi ciri kekeluargaan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Rupanya aktivitas ini juga cukup banyak menyumbang transmisi virus apalagi jika belakangan dinyatakan bahwa 80 % penderita Covid-19 merupakan kasus asymtomatic (OTG). Oleh karena itu tidak perlu ragu untuk berlaku sedikit “abnormal”, ikuti protokol kesehatan dimanapun berada demi keselamatan semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H