Mohon tunggu...
Humaniora

Nelayan di Garis Terdepan yang Belum Mapan

6 April 2018   21:11 Diperbarui: 6 April 2018   21:15 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

"Di sini baru aku mengerti, kenapa nelayan membelah perahunya menjadi kayu api dan menghiris pukatnya untuk sarapan pagi" --Awang Abdullah

Ungkapan di atas bukanlah hanya sekedar ungkapan. Hal ini benar terjadi di negara Indonesia, dimana yang kita kenal Indonesia sebagai negara maritim. Ironis sekali bila mengingat fakta tentang Indonesia yang kaya akan potensi lautnya, namun tidak sebanding dengan nasib para nelayannya. Nelayanlah wajah dari negara maritim. Kebanggaan negara Indonesia yang menganggap nenek moyangnya seorang pelaut terkesan hanya sebuah omong kosong dan kenangan belaka.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan nelayan di negaraku?
Meskipun kekayaan lautnya tinggi, kehidupan para nelayan saat ini terbilang sangat kekurangan. Sumber daya laut yang melimpah namun tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah untuk mengurusi sektor perikanan secara sunguh-sungguh memiliki dampak pada kehidupan nelayan. 

Tidak hanya itu, infrastruktur yang kurang memadai, sanitasi yang jelek, kampung nelayan yang kumuh dan pereknomian yang tak kunjung membaik menambah parah keadaan nelayan di negara maritim ini. Padahal potensi sumber daya laut ini dapat menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Pernahkah terbayangkan, Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada tidak memiliki deretan panjang masyarakatnya yang berprofesi sebagai nelayan? Fakta BPS tahun 2003-2013 menunjukkan terjadinya penurunan jumlah nelayan tradisional dari 1,6 juta menjadi 864 ribu. 

Para nelayan ini didominasi oleh nelayan berusia tua dibanding dengan yang berusia muda. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya lagi minat generasi muda untuk menjadi nelayan, sekalipun ada mungkin hanya karena keterpaksaan.

Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk para nelayan?
Tingginya harga kebutuhan pokok sekarang ini tidak sebanding dengan pendapatan yang dimiliki oleh para nelayan. Faktor utamanya disebabkan oleh tingkat permintaan masyarakat akan konsumsinya terhadap ikan hasil tangkapan laut rendah. Padahal produksi ikan tangkap Indonesia lebih tinggi dibanding dengan produksi ayam ras dan sapi potong. Kenapa kita masih sering mengonsumsi ayam atau daging yang jumlahnya sedikit dan kandungan proteinnya biasa saja dibanding dengan ikan yang berjumlah banyak dan memiliki kadar protein yang tinggi?

Tanpa kita sadari, nelayan adalah pahlawan protein bangsa. Berkat nelayan, kita dapat menikmati makanan laut (ikan laut dan seafood). Berkat nelayan, kita mendapatkan asupan protein yang tinggi. Berkat nelayan juga, Indonesia akan memiliki sumber daya manusia penerus bangsa yang sehat dan cerdas. Pertanyaannya sekarang, apakah pantas pahlawan protein bangsa kita tanggapi seperti itu?

Yuk sejahterakan para nelayan dengan gemar mengonsumsi ikan.

Sumber

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun