Mohon tunggu...
Irna Gayatri
Irna Gayatri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang penulis bebas yang suka bepergian dan menghirup udara segar. Saya suka memperhatikan pola perilaku masyarakat, tapi saya bukan sosiolog. Hanya pengamat yang ingin menjadi ulung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Masyarakatnya

2 September 2013   00:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:30 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masyarakat Tionghoa peranakan di Indonesia berasal dari Tiongkok Selatan yang datang ke Indonesia untuk berdagang. Kebanyakan dari mereka juga tinggal di pesisir utara Jawa di kota-kota perdagangan yang strategis. Mereka mulai menulis karena adanya dorongan untuk menciptakan bacaan yang dapat mereka nikmati untuk kalangan sendiri. Tidak cukup hanya menerjemahkan karya-karya sastra asing, mereka yang memiliki alat-alat percetakan mulai mendapat dorongan untuk menulis dan mencetak sendiri. Kemungkinan, dalam hal ini, ada juga keinginan dari si pengarang untuk menyebarkan pandangan dan ideologinya. Akan tetapi, ternyata ada satu tujuan besar dari penulisan karya-karya Tionghoa peranakan. Mereka menulis untuk menyampaikan nasihat agar kehidupan menjadi lebih baik, tidak seperti di dalam novel. Oleh karena itu, kisah dalam novel tidak beranjak jauh dari kriminalitas, pernyaian, dan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Kwee Tek Hoay merupakan salah satu yang menjabarkan hal tersebut di awal novelnya.

Karena adanya modal alat percetakan pribadi, antara 1870—1966, karya-karya sastra Melayu Tionghoa-lah yang menguasai kesusastraan pada masa itu. Niat awal mereka datang ke Indonesia untuk berdagang menyebabkan mereka akhirnya menggunakan bahasa Melayu Rendah (bahasa Melayu Pasar) yang digunakan tidak hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk menyampaikan gagasan mereka dalam tulisan. Tercatat juga bahwa 44 dari 806 peranakan Tionghoa penulis merupakan jurnalis dan sekali lagi, ini mendukung penciptaan karya-karya yang menggambarkan kehidupan masa itu atau sekadar alat perekam situasi sosial masa itu. pendapat Sapardi Djoko Damono (2010: 115) kiranya sangat baik untuk menutup tulisan ini, yaitu bahwa sastra Melayu Tionghoa merupakan hasil nyata dari kebutuhan akan hiburan yang ditunjang oleh kepandaian berdagang; isi, bentuk, dan cara penerbitannya membuktikan hal itu. dengan kata lain, teori dulce et utile terbukti dalam kasus ini.



Daftar Pustaka

Sumardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.

Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun