Saya sebenarnya bukan tipe orang yang suka mengikuti isu politik yang terjadi di Indonesia. Mungkin boleh dibilang saya sudah merasa apatis dengan dunia politik yang saya lihat selalu mementingkan kepentingan pribadi / kelompok dibandingkan kepentingan seluruh rakyat. Oleh karena itu saya tidak terlalu suka menjadikan politik sebagai tema diskusi saya dengan teman-teman maupun tema tulisan saya. Karena biasanya setiap kali isu politik dibahas, hanya menimbulkan debat kusir yang jarang memberikan solusi yang nyata. Dan saya lebih memilih untuk tidak memenuhi pikiran saya dengan segala kerumitan politik (karena kebetulan saya juga tidak banyak mengerti tentang politik). Tapi itu hak saya kan? Biarlah para politikus yang bekerja dan mempertanggungjawabkan pekerjaannya.Â
Namun, setelah apa yang sudah saya lihat belakangan ini, saya dengan sangat terpaksa menjadikan politik sebagai dasar tulisan saya. Dan yang akan saya bahas sekarang ini adalah bukan tentang politiknya semata, tetapi salah satu efek yang ditimbulkannya. Saya tidak tahu apakah para pembaca ada yang sepaham dengan saya atau tidak. Tapi saya juga berhak kan, mengutarakan pemikiran saya sepanjang tidak memprovokasi pihak lain?
Pilkada DKI yang akan datang sebentar lagi, seakan mengulang apa yang saya ingat kira-kira 5 tahun yang lalu. Saat muncul tokoh baru yang kelihatan membawa angin segar bagi masyarakat (yang sudah sempat apatis seperti saya), mendadak mereka berubah menjadi begitu peduli tentang siapa orang yang pantas menjadi pemimpin Jakarta. Mereka berlomba-lomba adu argumen, adu kampanye, adu mulut, dan segala jenis bentuk aduan lainnya demi terpilihnya 'jagoan' mereka. Tidak hanya di dunia nyata, tapi juga di media sosial. Dan lama kelamaan naiklah isu SARA di pilkada DKI, karena kebetulan calonnya ada yang 'beda dari yang lain'. Dan kebetulan, yang 'beda dari yang lain' itulah yang menang.
Sekarang, DKI kembali menunjukan keriuhan yang sama. Kali ini calon gubernurnya ada 3, termasuk si 'juara bertahan'. Dan masyarakat kembali mengalami 'euphoria' yang sama. Dan lagi-lagi, isu SARA mewarnai suasana menjelang Pilkada ini. Mendadak banyak masyarakat yang menjadi begitu sentimentil ketika jagoannya dikritik pihak lain. Dan tak jarang, kritikan itu sendiri memang sengaja dibuat-buat untuk menjatuhkan lawan. Bahkan kampanye-nya saja belum dimulai secara resmi.
Media sosial menjadi salah satu media yang paling banyak digunakan hal-hal semacam ini. Berbagai opini positif maupun negatif tentang ketiga pasangan calon gubernur DKI beredar dimana-mana, dan menimbulkan berbagai macam reaksi pula. Saya ingat, ketika saya mengomentari salah satu status Facebook teman saya tentang pilkada DKI, saya malah dicaci karena status KTP saya adalah warga Tangerang. Dan katanya, warga Banten dilarang ikut-ikutan memberi komentar tentang Pilkada DKI. Bah! Padahal komentar saya tidak mengandung provokasi apalagi SARA. Yah, wilayah DKI kan tidak hanya dihuni oleh warga dengan KTP Jakarta. Banyak warga non-Jakarta yang juga bekerja di wilayah Jakarta. Apa salahnya mereka mengutarakan pendapat tentang pemimpin yang mereka harap bisa membuat nyaman tempat mereka mencari nafkah?
Saya jadi merasa bingung sendiri. Mengapa sekarang masyarakat kita begitu mudah terpancing oleh kemarahan ketika ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan pemikiran mereka? Katanya kita ini bangsa yang ramah, cinta damai, murah senyum dan sangat ber-Bhineka Tunggal Ika. Ketika warga dari daerah non-Jakarta berkomentar sedikit tentang pilkada DKI, malah dilarang. Ketika ada isu sedikit tentang SARA, langsung terpancing. Ketika ada yang berbeda pendapat sedikit, caci maki langsung meluncur bagai tsunami. Kita menjadi begitu mudah tersinggung dan bereaksi berlebihan ketika muncul suatu isu. Padahal kita sendiri belum mengetahui versi lengkap dari isu itu sendiri.
Saya percaya banyak orang yang berintelektual yang menghuni kota Jakarta. Dan seharusnya orang yang berintelektual bisa memilah mana yang harus ditanggapi dengan serius, mana yang tidak. Janganlah menjadi seseorang yang seolah-olah memahami segala sesuatu dan menganggap dirinya yang paling benar. Orang-orang seperti inilah yang akhirnya akan mudah terhasut pihak-pihak lain. Dulu, rakyat Indonesia pernah dijajah bangsa asing begitu lama karena masing-masing masih bersikap individual. Bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali dijajah jika sifat seperti ini masih dipelihara. Dan ironisnya, yang menjajah itu adalah bangsa sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H