Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pulau Samosir, Negeri Indah Kepingan Surga

19 Januari 2016   20:16 Diperbarui: 19 Januari 2016   21:13 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agaknya, slogan "Negeri Indah Kepingan Surga" milik Pulau Samosir tidak terlalu berlebihan. Cerita saya di bawah ini bermula dari tuntutan saya kepada orangtua saya untuk mengajak saya mengunjungi tempat-tempat wisata di Pulau Samosir. Kebetulan, Bapak memang lahir dan besar di Pulau Samosir.

Pada akhir tahun 2014, seluruh keluarga besar kami pulang ke kampung Bapak di Onan Runggu, Pulau Samosir. Pada tahun-tahun sebelumnya, tradisi pulang kampung untuk merayakan tahun baru di rumah ompung memang selalu diadakan. Sampai usia saya menginjak 25 tahun pada tahun 2014 itu, saya belum pernah sekali pun mengunjungi tempat-tempat wisata yang sangat terkenal di Pulau Samosir, seperti Tuk Tuk, Salib Kasih, Taman Iman, Batu Gantung, Air Terjun Sipiso-Piso dan lain-lain. Satu-satunya tempat wisata yang pernah saya kunjungi hanyalah Tomok untuk melihat makam raja Sidabutar yang tersohor itu, saat saya masih bersekolah tingkat SD. Sampai saat itu, saya hanya mendengar dari cerita-cerita teman yang sudah pernah mengunjunginya.

Sebagai orang berdarah Batak murni dengan orangtua yang memiliki kampung halaman di pulau Samosir, saya merasa malu dan minder karena tidak pernah sekali pun mengunjungi tempat-tempat indah dan sarat dengan budaya asli Batak itu. Setiap kali pulang kampung, saya hanya sibuk berkeliling dari satu rumah saudara ke rumah saudara lainnya. Akhirnya, ketika begitu rencana pulang kampung sudah pasti, saya menuntut orangtua saya untuk mengunjungi beberapa tempat yang saya sebutkan tadi di atas, termasuk mengunjungi kampung kelahiran Bapak di dolok (gunung) yang bernama Sipakko, karena saat ini rumah ompung sudah dipindahkan ke dekat Danau Toba dengan akses yang lebih mudah.

Tanggal 31 Desember 2014, saya bersama adik, sepupu, Bapak dan saudara-saudaranya pergi ke Sipakko yang berjarak sekitar 1.5 jam dari Onan Runggu dengan menggunakan mobil, motor plus jalan kaki. Kami harus berganti-ganti kendaraan karena medan yang ditempuh semakin lama semakin terjal dan sulit dilalui kendaraan. Meskipun pada akhirnya kami harus berjalan kaki, saya merasa semuanya terbayar dengan tercapainya tujuan saya dan adik saya untuk melihat tanah kelahiran Bapak yang selama ini hanya kami dengar dari cerita-ceritanya.

Sepanjang jalan yang kami lewati hanya tampak sawah dan bukit-bukit hijau berlatar langit biru dan Danau Toba yang cantik diselingi dengan rumah-rumah adat Batak yang khas, serta masyarakat lokal. Bahkan kami harus beberapa kali berhenti di tengah jalan, ketika Bapak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya semasa kecil, mereka saling berpelukkan melepas rindu.

Sesampainya kami di rumah kelahiran Bapak, saya merasa begitu takjub. Bapak memperlihatkan kepada kami anak-anaknya, tempat-tempat yang sering ia ceritakan kepada kami seperti dapur, tempat mengambil air, kamar tidur, sawah milik ompung dulu, tempat menggembalakan kerbau yang sekaligus menjadi tempat bermain dan sebagainya.

Bahkan saya sendiri tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupan Bapak dan saudara-saudaranya saat mereka masih kecil dulu. Tanpa listrik, jauh dari mana-mana, tidak ada kendaraan dan tempat-tempat hiburan, variasi makanan seadanya dan sebagainya. Tentu jauh berbeda dengan kehidupan yang saya alami semasa kecil dengan berbagai macam kemudahan. Suasana di tempat itu begitu sepi dan tenang, jujur saja saya sendiri tidak akan bertahan hidup dalam lingkungan serba terbatas seperti itu. Tapi bagaimanapun, saya merasa sangat puas karena akhirnya tujuan pertama saya telah tercapai.

Esok harinya, saya bersama sepupu-sepupu saya, pergi mengunjungi Tomok. Kami menggunakan mobil melewati Nainggolan, Palipi, Pangururan dan berakhir di Tomok. Hal yang paling berkesan dari jalur yang kami lewati ini adalah pemandangan Pulau Tao, yakni pulau kecil di tengah danau Toba dengan pohon kelapa yang menjulang, serta daerah Palipi yang memiliki lanskap khas negri-negri di Benua Biru.

Barisan bukit hijau, hamparan sawah hijau bak permadani, jalanan aspal berkelok dengan background langit dan Danau Toba yang berwarna biru, lengkap dengan suhu sejuknya. Sungguh, saya tidak menyangka ada pemandangan seindah itu di Pulau Samosir. Saya pribadi, langsung jatuh cinta begitu melihat pemandangan-pemandangan khas dataran tinggi Irlandia, Skotlandia dan Alaska dari internet dan berbagai film, sehingga saya bertekad untuk mengunjungi tempat-tempat itu suatu saat nanti. Namun siapa sangka, Indonesia sendiri juga punya pemandangan yang sama. Persis sama.

Ironi

Tapi kemudian dalam hati saya kembali merasakan ironi, masyarakat kita lebih mencintai wisata di luar negri daripada di negrinya sendiri. Tidak bisa disangkal, banyak masyarakat Indonesia yang sudah keliling dunia, tapi belum keliling Indonesia. How poor we are, isn't it?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun