Beberapa hari yang lalu setelah pemberitaan kunjungan Bapak Presiden Joko Widodo ke Balige, Sumatera Utara dalam rangka membuka Karnaval Kemerdekaan: Pesona Danau Toba, beredarlah screen capture status facebook dari Nunik Wulandari II, yang menyatakan Bapak Presiden kita cukup to**l karena bangga dipakaikan pakaian seperti badut dan dipertontonkan banyak orang.
Reaksi pertama saya ketika melihat postingan itu pastinya kesal bukan main. Saya sebagai orang Batak tentu merasa amat tersinggung. Merupakan suatu kehormatan bagi kami masyarakat Batak (meskipun saya lahir dan besar di Jakarta), ketika akhirnya setelah 71 tahun Indonesia merdeka, akhirnya presiden kita menginjakkan kaki di tanah batak. Hal ini tentunya menjadi kebanggaan tersendiri dan motivasi bagi masyarakat Batak dalam usaha mereka memajukan pariwisata Danau Toba dan sekitarnya. Masyarakat Sumatera Utara tentunya merasa didukung penuh oleh pemimpinnya untuk memperbaiki dan membenahi pariwisata Danau Toba dan sekitarnya. oleh sebab itu, untuk mengungkapkan rasa terima kasih dan bangga itu, Pak Jokowi diberikan sebuah Ulos, yang merupakan kain tradisional Batak dan sortali yang biasanya memang dipakai oleh raja-raja Batak.
Selain fungsinya yang secara harafiah sebagai pakaian tradisional dan untuk menghangatkan tubuh, Ulos pada dasarnya sarat dengan makna, yakni melambangkan kasih sayang dan persaudaraan. Oleh sebab itu Ulos kerap menjadi instrumen penting yang digunakan di berbagai acara seperti pernikahan, upacara kematian, upacara penyambutan bagi tamu-tamu penting dan sebagainya. Tentunya nama dan jenis ulos yang digunakan berbeda-beda, tergantung acaranya. Ulos yang diberikan kepada Pak Jokowi merupakan suatu bentuk penghargaan sekaligus persaudaraan dari masyarakat Batak kepada pemimpinnya. Jadi perkataan NW seperti yang beredar di media sosial baru-baru ini, sangat tidak bermoral karena telah menghina masyarakat Batak, pemimpin negara dan seluruh bangsa Indonesia. Coba dimisalkan posisinya dibalik, suku si NW inilah yang dihina orang lain, apakah dia tidak akan tersinggung?
Semboyan terkenal Bhineka Tunggal Ika bukan dibuat secara asal-asalan. Berbeda-beda tapi tetap satu jua, harus terus dijunjung tinggi untuk menyatukan negara kita yang sungguh luas ini. Dan untuk menjunjung hal itu tentunya diperlukan kerendahan hati untuk mau bertoleransi dan menerima perbedaan yang ada. Bukannya malah menghina orang lain atau suku lain, hanya demi menunjukkan bahwa ia adalah pendukung salah satu kubu dan menganggap dirinya paling benar.Â
Belakangan, saya dengar pemilik account atas nama NW dan AR ini akhirnya dilaporkan ke Polda Sumut karena dianggap telah melakukan penghinaan kepada presiden dan suku Batak. Investigasi pun mulai digelar untuk mencari siapa sebenarnya pemilik akun ini. Dan tentunya saya menyetujui langkah ini karena pada dasarnya penghinaan kepada pemimpin negara harus ditindak tegas. Tidak bisa dipungkiri, dalam setiap negara tidak seluruh rakyatnya menyukai pemimpinnya. Sekalipun seorang warga negara tidak menyukai pemimpinnya, tidak sepantasnya juga seseorang menghina pemimpin negara di depan khayalak publik, meskipun hanya sebatas media sosial. Penyampaian kritik terhadap pemimpin pun hendaknya tetap memenuhi aturan beretika, sebagai ciri masyarakat yang demokratis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H