Berita tentang wabah COVID-19 sudah terdengar sejak Desember 2019. Ketika virus tersebut diberitakan telah menyebar di berbagai negara dan mengakibatkan banyak kematian, WHO pun menetapkan status darurat global untuk wabah ini. Di saat sudah banyak negara yang terdampak virus ini, hingga Februari 2020 Indonesia masih mengklaim belum ada satu pun kasus yang terjadi.Â
Hal ini sempat menjadi bahan Dark Joke (yang dengan bangganya diviralkan) dimana masyarakat Indonesia dianggap memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa karena gaya hidupnya. Mulai dari paparan polusi, mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung bahan kimia berbahaya, dan lain sebagainya.
Kemarin, begitu Pak Jokowi yang didampingi Pak MenKes mengumumkan ada dua WNI yang positif terinfeksi COVID-19 yang kini telah dirawat di RSPI Sulianthi Saroso, mendadak masyarakat Jakarta dan sekitarnya ketar-ketir terkena serangan panik.
Serangan Panik Berlebihan
Hanya selang beberapa jam setelah pengumuman tersebut, beredar foto orang-orang yang berbelanja kebutuhan pokok secara berlebihan. Mulai dari beras, minyak goreng, mie instan dan lain sebagainya. Foto tersebut juga memperlihatkan rak-rak dari beberapa supermarket kosong melompong seperti habis dijarah. Alasannya? Apalagi kalau bukan supaya mereka tidak perlu keluar rumah serta terhindar dari wabah COVID-19. Dan dengan demikian, mereka memandang perlu untuk membeli stok bahan makanan sebanyak-banyaknya. Dan malamnya begitu saya sampai di rumah, berita yang sama tayang berulang-ulang di televisi.
Jujur saya merasa lucu sekaligus gemas. Inginku berkata kasar. Mengapa? Karena menurut saya, reaksi panic attack inilah yang akan menimbulkan chaos di masyarakat. Saat melihat berita tersebut, orang akan menjadi latah, kemudian ikut-ikutan memborong kebutuhan pokok. Pada suatu titik, suatu barang akan menjadi langka dan kemudian harganya pun naik setinggi langit. Beberapa orang kenalan saya bahkan dengan bangganya bercerita bahwa dia berhasil memborong tiga troli di supermarket. Jujur saya agak heran dimana esensinya?
Well, kelangkaan barang akibat wabah COVID-19 ini sudah terjadi pada masker. Begitu berita COVID-19 tersebar dengan hebohnya, harga 1 kotak masker isi 50 yang biasanya saya beli dengan harga tidak lebih dari lima puluh ribu rupiah, kini harganya sudah melonjak naik hingga lima ratus ribu rupiah. Bahkan beberapa ada yang menjual sampai jutaan! Katanya sih, ada oknum yang menimbun stok supaya masker menjadi barang langka dan harga bisa dinaikkan sesuka hati. Yah, bisa jadi kan? Kalau sudah begitu, bukankah justru merugikan mereka yang benar-benar membutuhkan? Dan jika mereka yang paling membutuhkan tidak bisa memperoleh barang yang dibutuhkan, justru akan mempercepat dan memperluas penyebaran virus?
Dan sejak semalam tadi, bukan hanya masker lagi yang jadi incaran masyarakat. Tapi juga hand sanitizer. Mendadak barang ini out of stock di minimarket maupun supermarket.
Nah berkaca dari kasus masker dan hand sanitizer ini, bukan tidak mungkin fenomena ini akan berulang untuk komoditi kebutuhan pokok. Over reaction yang diperlihatkan sejumlah orang, berpotensi membuat yang lainnya jadi ikut parno dan dibayangi kecemasan-kecemasan lainnya.
Bagaimana kalau nanti kita kehabisan bahan pokok? Bagaimana kalau setelah ini harga-harga bahan pokok naik gak kira-kira? Bagaimana kalau nanti kota diisolasi seperti di Wuhan kemarin?
Kalau saya pikir-pikir agak lucu juga kita ini. Negara lain mungkin membutuhkan pengumuman resmi dari pemerintah terkait status wabah (misal status Siaga 1 atau status KLB atau darurat nasional) untuk bisa menimbulkan reaksi panik seperti ini. Tapi ternyata kita cuma butuh berita tentang dua pasien positif untuk menimbulkan reaksi seheboh itu. Padahal sebelumnya kita dengan pede-nya menganggap COVID-19 sulit menginfeksi orang Indonesia dengan segala macam analisanya yang belum tentu berdasar.