Bulan ini tepat 137 tahun yang lalu, yakni Maret 1882, seorang ahli mikrobiologi berkebangsaan Jerman bernama Heinrich Hermann Robert Koch mengumumkan keberhasilannya ke Berlin Physiological Society dalam menemukan (mengisolasi) bakteri penyebab penyakit Tuberkulosis (TBC) yakni Mycobacterium tuberculosis.
Robert Koch juga dikenal dengan penemuannya terhadap bakteri penyebab penyakit Anthrax (Bacillus anthracis), dan Cholera (Vibrio cholerae). Selain itu ia juga merumuskan 4 kriteria yang harus dipenuhi dalam mengubungkan sebab-musabab antara parasit dan penyakit, yang dikenal juga dengan Postulat Koch.
Isi Postulat Koch itu antara lain:
- Organisme (parasit) harus ditemukan dalam hewan yang sakit, tidak pada yang sehat.
- Organisme harus diisolasi dari hewan sakit dan dibiakkan dalam kultur murni.
- Organisme yang dikulturkan harus menimbulkan penyakit pada hewan yang sehat.
- Organisme tersebut harus diisolasi ulang dari hewan yang dicobakan tersebut.
Meski begitu, seiring dengan perkembangan zaman dimana ilmu mikrobiologi dan parasitologi juga berkembang, keempat postulat tersebut tidak selalu sesuai/terjadi. Misal, organisme penyakit dapat juga ditemukan pada hewan yang sehat (postulat pertama tidak sesuai) atau organisme penyakit tidak selalu menimbulkan penyakit pada hewan yang sehat (postulat ketiga tidak sesuai).Â
Penyakit TBC mendapat perhatian khusus mengingat berdasarkan data WHO, TBC menempati posisi kesepuluh dari 10 penyakit paling mematikan di dunia selama rentang tahun 2000-2016, sehingga juga menjadi salah satu tujuan dalam SDGs (Sustainability Development Goals).
Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (Infodatin), ada lima negara di dunia dengan insiden kasus TBC tertinggi yakni India, Indonesia, China, Filipina dan Pakistan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan begara dengan beban tinggi/High Burden Countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yakni, TBC, TBC/HIV dan MDR-TBC.