Meskipun judulnya weekend (akhir minggu), tapi sebenarnya quality time (waktu berkualitas) ini juga bisa kita lakukan di hari-hari biasa alias weekdays, yang penting tidak mengganggu kegiatan rutinitas Kompasianer. Jadi karena kebetulan saya hanya punya waktu luang di akhir minggu, maka sebisa mungkin saya mengisi waktu luang saya ini dengan mencari kegiatan yang tujuannya me-refresh otak dari kepenatan bekerja selama 5 hari.
Sebenarnya saya bukan termasuk pecinta seni tulen, apalagi seniman. Tapi saya lumayan suka melihat-lihat karya seni yang ada di museum. Ada banyak museum yang bisa dikunjungi di Jakarta. Namun umumnya museum menampilkan karya-karya seni atau benda-benda yang memiliki nilai sejarah sehingga biasanya benda-benda tersebut pastilah telah berusia puluhan hingga ratusan tahun!Â
Namun nyatanya ada juga karya-karya seni modern yang dimuseumkan di Jakarta. Jadi ketika hari Sabtu kemarin salah seorang teman mengajak saya mengunjungi Museum MACAN, saya langsung setuju. Yah, hitung-hitung menghabiskan akhir minggu dengan kegiatan yang berkualitas, sekaligus menambah pengetahuan. Daripada nge-mall melulu?
Tidak seperti namanya, Museum MACAN bukanlah museum yang menyimpan dan memamerkan fosil-fosil taring, kulit maupun kuku macan tutul, macan kumbang, apalagi Trio Macan! Nama Museum MACAN sebenarnya merupakan singkatan dari Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara. Jadi museum ini menyimpan karya-karya seni modern dan kontemporer dari Indonesia maupun mancanegara.
Tidak seperti museum yang pada umumnya dikelola oleh pemerintah, Museum MACAN dikelola oleh yayasan swasta, sehingga harga tiket masuk (HTM) yang dibebankan kepada pengunjung boleh dibilang mahal (menurut saya), yakni lima puluh ribu rupiah. Tiket ini bisa dibeli langsung di lokasi (on the spot) maupun secara online melalui website resminya.
Awalnya saya heran mengapa, tapi begitu memasuki ruangan saya langsung paham. Dinding-dinding tersebut juga merupakan bagian tak terpisahkan dari karya-karya seni (lukisan maupun kolase kertas) yang sebagian besar memang digantungkan pada dinding. Dan masih banyak peraturan lainnya seperti tidak boleh menggunakan flash light (blitz) saat memotret, tidak boleh menyentuh karya seni atau melewati pembatas, dan sebagainya. Beberapa petugas keamanan pun dikerahkan di setiap area untuk mengawasi pengunjung.Â
Dan boleh dibilang mereka benar-benar mengawasi sehingga tidak heran begitu ada pengunjung yang melanggar tertangkap oleh mata mereka, para petugas tidak segan untuk memberi peringatan. Saat berkunjung kemarin, saya melihat beberapa kali petugas yang menegur pengunjung. Ya mau bagaimana, kebiasaan orang Indonesia saat berada dalam museum memang masih lumayan ketinggalan dibandingkan masyarakat dari negara lain di luar sana yang memang benar-benar melek seni.
Bumi, Kampung Halaman, Manusia yang berisi karya seni yang berasal dari abad ke 19 dan 20 saat Indonesia berada dalam pendudukan kolonial;