Hari Minggu tanggal 4 Maret 2018, menjadi salah satu hari yang paling berkesan untuk saya. Biasanya setiap hari Minggu, saya lebih memilih menghabiskan waktu dengan bersantai di rumah. Tapi kali ini, ketika sebuah portal berita online memberitakan bahwa akan diadakan Parade Cap Go Meh di sepanjang kawasan Glodok, saya langsung bersiap-siap berangkat.Â
Maklum, sejak dulu saya selalu ingin menyaksikan pawai Cap Go Meh secara langsung. Selama ini saya hanya melihat kemeriahan perayaan tersebut melalui berita online maupun menyaksikannya di televisi.
Perayaan Cap Go Meh biasanya jatuh pada hari kelima belas setelah tahun baru Imlek, sekaligus menandai berakhirnya masa perayaan tahun baru. Istilah Cap Go Meh sendiri bermakna harafiah yakni "Cap" berarti sepuluh, "Go" yang berarti lima dan "Meh" yang berarti malam. Perayaan Cap Go Meh juga dikenal dengan istilah "Yuan Xiao Jie" (Festival Lampion) yang diadakan untuk menghormati Dewa Thai Yi yang dianggap sebagai dewa tertinggi di langit pada masa Dinasti Han.
Aksi penabuh genderang (Dokpri)
Perayaan Cap Go Meh di Indonesia dimeriahkan dengan mengarak patung-patung dewa melewati rute tertentu. Parade kali ini digelar di kawasan Pecinan Glodok dan dimulai dari depan LTC Glodok, terus melewati Jalan Hayam Wuruk, berputar di Harmoni dan berakhir kembali di LTC Glodok.
Saya sudah tiba di lokasi sekitar pukul 12 siang, satu jam lebih awal dari jadwal dimulainya acara, untuk mengantisipasi sulitnya menjangkau lokasi karena menurut informasi, mulai pukul 13.00 jalan akan ditutup untuk umum. Meski begitu, Bus Transjakarta tetap beroperasi walaupun harus berjalan super lambat karena banyaknya penonton yang tumpah ke jalur busway.Â
Dan saat itu jalan menuju lokasi nyatanya sudah mulai macet akibat persiapan yang dilakukan panitia. Mulai dari panggung VIP di depan LTC Glodok, personel pengamanan, hingga tenda-tenda putih di pinggir jalan yang dijadikan sebagai backstage bagi para peserta parade.
Salah satu peserta parade yang paling mencuri perhatian (Dokpri)
Cuaca saat itu luar biasa panas, tapi saya tidak mau kalah dengan antusias masyarakat lainnya yang juga ingin melihat pawai Cap Go Meh. Mereka rela berpanas-panas ria berdiri di pinggir jalan sambil memakai payung sementara menunggu acara di mulai.
Peserta parade Papua (Dokpri)
Parade baru dimulai sekitar pukul dua siang. Pada ada urutan pertama pawai diisi oleh sekelompok polisi hewan lengkap dengan kuda hitam mereka yang tinggi nan kekar, lalu dilanjutkan dengan sekelompok peserta yang mengenakan kostum masa kolonial Belanda, lengkap dengan sepeda ontelnya. Urutan selanjutnya diisi dengan peserta kesenian daerah dari Kalimantan, Reog Ponorogo, Papua, Sulawesi, Betawi beserta kesenian ondel-ondel, Barongsai, Sisingaan dari Jawa Barat hingga Gondang Sabangunan dari Sumatera Utara.
Rombongan Gondang Sabangunan ((Dokpri)
Dan tak hanya menampilkan kesenian dan pakaian adat daerah, parade ini juga dimeriahkan dengan adanya dua buah kendaraan hias dengan simbol Monas dan Kapal Naga. Kendaraan yang berhiaskan tiruan Monas membawa Abang dan None Jakarta, sementara kendaraan yang berhiaskan tiruan Naga (Liong) membawa Cici dan Koko Indonesia yang kompak mengenakan pakaian khas peranakan berwarna merah. Beberapa kelompok
marching band hingga Paskibraka juga ikut serta dalam parade.
Kendaraan hias yang membawa Cici dan Koko Indonesia (Dokpri)
Baru di belakang kelompok
marching band inilah, para peserta dari klenteng dan vihara mengarak patung dewanya masing-masing. Patung-patung dewa tersebut di letakkan di atas tandu yang telah dihias, kemudian diangkut oleh empat orang atau lebih dan diarak sambil digoyang, diiringi tabuhan genderang dan simbal. Suasana saat itu begitu riuh dan ramai.
Sementara tandu-tandu tersebut diarak, banyak penonton parade yang memasukkan angpao ke dalam tandu sambil memohon berkat dan kemakmuran. Sebagai imbalannya, mereka diberikan bunga-bungaan yang menjadi hiasan tandu.
Lihat Travel Story Selengkapnya