Peristiwa ledakkan pabrik mercon/kembang api di daerah Kosambi, benar-benar menghebohkan. Akibat ledakkan itu dilaporkan sebanyak 47 orang tewas mengenaskan, belum lagi korban luka-luka lainnya. Dan kebetulan juga lokasinya tidak jauh dari rumah saya. Serta merta grup Whatsapp saya dibanjiri berita tentang ledakkan itu.
Jujur saya sendiri prihatin dengan kejadian tersebut. Bayangan begitu banyak orang yang tidak sempat melarikan diri karena pastinya tempat itu meledak seketika karena komoditi mayoritas di pabrik itu adalah bubuk mesiu, benar-benar mengerikan. Dan saya juga yakin orang lain pun merasa demikian.
Tapi tampaknya bentuk rasa prihatin itu seakan-akan tampak seperti  sekadar formalitas bagi beberapa orang lain. Sekitar pukul empat sore kemarin, saya mendapat kiriman video di grup Whatsapp. Memang saya tidak langsung membukanya. Namun betapa terkejutnya saya ketika dalam video itu memperlihatkan gambar lokasi bagian dalam pabrik tak lama setelah api padam.Â
Ada banyak jasad-jasad yang hangus terbakar (bahkan ada yang masih berasap) dengan posisi terakhir mereka saat meninggal seketika (mirip seperti di film Pompeii). Ada yang benar-benar hangus, ada juga yang masih sedikit utuh. Belum lagi si perekam meng-zoom in dan zoom out gambar berkali-kali dan tanpa sensor sedikitpun.
Untungnya saya bukan orang yang mudah mual atau pingsan saat melihat visual seperti itu. Tapi apakah orang yang men-share video ini sudah memikirkan reaksi orang lain yang akan melihatnya? Dan lebih jauh, apakah orang yang men-share video ini memikirkan bagaimana kalau sampai keluarga korban melihat video mengerikan itu dan tahu bahwa video tersebut sudah tersebar kemana-mana?
Meskipun tujuannya mungkin hanya untuk sekadar membagikan informasi, tapi agaknya fasilitas dunia digital dengan segala kemudahannya untuk mengambil foto, merekam video, kecepatan jaringan internet, sedikit banyak membuat masyarakat jadi lupa untuk berempati. Saking kepengennya menjadi orang yang paling update tentang suatu peristiwa yang baru saja terjadi, mereka jadi lupa mana hal-hal yang perlu dibagikan secara gamblang, mana yang tidak. Sama halnya dengan membagikan foto-foto jenazah saat melayat di media sosial.
Bahkan kru media di daerah konflik saja, memiliki aturan dan kode etik saat menampilkan video dan gambar semacam itu, misal dengan menyamarkan bagian-bagian tertentu atau mengambilnya dari sudut tertentu.
Hal-hal ini mungkin terkesan sepele dan tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi yang perlu dicatat adalah bahwa video atau gambar korban-korban seperti ini adalah hal yang privasi. Dan suatu hal yang privasi tidak seharusnya diumbar ke orang lain. Bagaimana jika yang melihatnya ternyata punya trauma psikologis tertentu? Bagaimana bila kita sendiri merupakan anggota keluarga korban? Pastinya tidak tega kan?
Jadi teman-teman semua, mari kita selalu memiliki rasa empati untuk hal-hal semacam ini dengan tidak sembarangan membagikan video atau gambar yang justru membuat orang lain berjengit. Kalau perlu, tegur mereka yang men-share konten tersebut. Jangan menjadi orang yang berpikiran pendek yang hanya ingin dipuji dengan menjadi yang paling update. Tidak hanya dalam bersikap, bermedia sosial juga ada etikanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H