Minggu lalu, saya mendapatkan kesempatan yang sangat luar biasa dalam hidup saya (setidaknya sejauh ini), yakni menginjak Holyland yang telah menjadi mimpi saya sekian lama.
Yap, Holyland atau Tanah Suci yang dimaksud adalah Mesir dan Israel (sama seperti halnya Mekkah bagi umat Muslim sedunia), dimana peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam Alkitab terjadi di tempat-tempat ini.
Dari sekian banyak tempat yang saya datangi, ada dua tempat yang menurut saya paling berkesan. Pertama untuk negara Mesir, selain Piramida Cheops, yaitu Mount of Sinai di St. Catherine. Mount of Sinai atau Gunung Sinai merupakan salah satu tempat wisata religius yang sangat terkenal. Karena letaknya yang cukup jauh dari Kairo, ibukota Mesir, biasanya wisatawan yang sebelumnya berwisata di Kairo, harus berangkat pagi-pagi supaya sampai di sana tidak terlalu malam.
Para wisatawan atau peziarah yang datang ke St. Catherine biasanya memiliki misi khusus, yakni mendaki Gunung Sinai, sebagai bagian dari napak tilas Nabi Musa saat menerima kesepuluh Perintah Allah (10 Commandements). Di sini, peziarah akan diberi pilihan untuk naik pada pukul 20.00 atau pukul 23.00 waktu setempat. Pendakian tidak dilakukan siang hari, dengan pertimbangan suhu di sana akan terasa panas saat siang hari, terutama saat musim panas tiba. Pendakian ini juga bersifat optional, sehingga peziarah yang merasa tidak kuat (atau memiliki penyakit tertentu seperti jantung, asma dan lainnya) boleh tinggal di hotel.
Jarak lokasi pendakian dari hotel hanya sekitar lima belas menit. Dan setelah melalui pos pemeriksaan yang juga dijaga oleh tentara (Pos A), kami mulai berjalan melewati Biara St. Catherine menuju Pos B. Kontur jalan menuju Pos B masih boleh terbilang mudah karena landai. Perlu diketahui, kontur Gunung Sinai tidak seperti gunung-gunung di Indonesia yang memiliki tanah yang lembab dan tumbuh-tumbuhan tropis, melainkan seratus persen bebatuan dan pasir tanpa ada pepohonan. Khas padang-padang pasir gitu deh. Dari Pos B menuju Pos C, jalan mulai mendaki dan berkelok-kelok dengan waktu tempuh sekitar 1- 1.5 jam. Oleh sebab itu peziarah boleh memilih jalan kaki atau naik unta (tentunya ada tarif terpisah, yakni sekitar 30 USD). Dan karena rombongan saya termasuk rombongan yang cukup kepo, maka kami memilih naik unta (maklum, kepingin tahu rasanya naik unta sambil mendaki gunung di malam hari).
Tentunya, insiden unta bukan satu-satunya yang saya alami di atas sana. Dari Pos C, dengan ditemani seorang guide lokal bernama Sulaiman, saya masih harus menaiki tangga berbatu menuju puncak sekitar 1.5 jam. Semakin ke atas, tempat itu semakin benar-benar sunyi. Tidak terdengar apapun selain suara nafas kami yang megap-megap karena kekurangan oksigen dan semilir angin dingin yang kadang berhembus melewati lembah-lembah. Di sana juga sangat gelap karena tidak ada cahaya lain selain senter kami. Bintang-bintang di atas kepala terasa begitu dekat. Bahkan untuk pertama kalinya, saya melihat bintang jatuh dan Milky Way dengan jelas! Ini merupakan pengalaman sangat langka bagi saya. Di puncak, kami melihat sebuah gereja yang sudah tidak dipakai dan gua yang dipercaya sebagai tempat Nabi Musa beristirahat. Maka kamipun beristirahat sejenak dan merenung, sebelum kembali ke Pos C.
Setelah dipikir-pikir, nyatanya saya seperti Bangsa Israel pada zaman itu yang terus-menerus mengeluh selama dibimbing Musa menuju Tanah Perjanjian, hingga perjalanan terasa begitu lama.
Bersambung...