Nikah Muda. Dulu sekali mungkin kebiasaan ini sudah biasa terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, tapi kemudian sempat meredup. Dan beberapa tahun belakangan, saya lihat fenomena ini mulai tren lagi di kalangan masyarakat.
Banyak teman saya yang begitu lulus kuliah, langsung menikah. Macam-macam alasan saya dengar ketika mereka menjawab pertanyaan kenapa mereka buru-buru menikah. Jika dilihat dari segi usia, memang benar jika dikatakan bahwa usia awal 20an sudah memenuhi syarat untuk menikah. Undang-undang tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria.Â
Selain itu, banyak juga yang mengatakan, nikah muda supaya umur anak-anak mereka nanti tidak terlalu jauh dengan orangtuanya. "Jadi lebih asik aja. Ntar bisa hang out sama anak sendiri", kata mereka waktu itu. Ya ada benarnya juga. Jika usia orangtua tidak terlalu jauh, mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk menikmati waktu dalam membesarkan anak-anaknya.
Tapi jujur saja, saya sendiri tidak terlalu setuju dengan pandangan Nikah Muda ini. Ada juga yang bilang, mau menikah umur berapapun, asal mental dan ekonomi kuat, nikah muda sah-sah saja. Ya saya juga tidak menyalahkan orang yang berpendapat seperti itu karena masyarakat kita adalah masyarakat yang demokratis.
Lalu mengapa saya tidak setuju dengan fenomena Nikah Muda? Menurut saya, menikah itu adalah suatu keputusan yang super serius dan perlu dipertimbangkan masak-masak. Dan pendapat saya, usia minimal yang ideal untuk menikah adalah 25 tahun, baik untuk pria maupun wanita.Â
Tidak hanya aspek psikologis dan ekonomis saja yang harus dijadikan bahan pertimbangan, tetapi juga aspek kesehatan, terutama bagi wanita. Jika kita mengacu pada undang-undang, memang pria dan wanita pada usia remaja tersebut organ reproduksinya sudah berfungsi dengan baik. Namun khusus wanita yang pasti akan 'mengemban tugas' untuk mengandung, organ reproduksinya belum siap dengan sempurna.Â
Banyak remaja-remaja yang mengandung pada akhirnya harus mengalami abortus (keguguran) karena rahimnya belum kuat. Abortus ini tentu saja bisa mengancam nyawa si ibu karena bisa mengakibatkan perdarahan atau bahkan mengakibatkan si ibu tidak dapat mengandung lagi.
Selain aspek kesehatan, yang perlu dipertimbangkan lainnya adalah psikologis / mental. Usia remaja hingga menginjak 25 tahun, akan lebih baik jika diisi dengan memperoleh pendidikan, pengalaman hidup dan memperluas pergaulan. Jika kondisi keuangan tidak memadai, pendidikan tidak hanya bisa diperoleh dari bangku kuliah tetapi juga bisa diperoleh dari kursus dan pelatihan keterampilan.Â
Pengalaman hidup dan pergaulan juga sangat penting dimiliki untuk membentuk karakter, kemampuan berkomunikasi, prinsip dan komitmen seseorang. Dan hal ini bisa diperoleh dari dunia kerja, bersosialisasi dalam komunitas tertentu atau bahkan dengan travelling. Semakin banyak seseorang bersosialisasi dengan orang lain, tentu ia akan menemui banyak karakter manusia dan tahu bagaimana harus bersikap dan menghadapinya. Dan ini tentunya akan sangat bermanfaat ketika kita menemui konflik dalam rumah tangga, sehingga kita pun bisa menemukan solusi yang terbaik dengan pasangan untuk penyelesaian. Hal ini tentunya dapat meminimalisasi tingkat perceraian atau bahkan resiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Aspek terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah kemampuan ekonomi. Setelah menikah, idealnya pasangan suami istri tersebut tidak bergantung lagi pada kedua orangtua masing-masing, terutama dalam hal keuangan rumah tangga. Usia 25 tahun, paling tidak sudah memberikan cukup waktu bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan tetap yang dapat diandalkan untuk menopang keuangan rumah tangga. Memang banyak orang yang beralasan untuk menunda pernikahan sebelum mapan secara finansial.Â
Tapi tentu saja ukuran mapan itu subjektif. Ada yang berpendapat, mapan itu harus sudah memiliki rumah beserta segala isinya, mobil pribadi, bisa bepergian ke luar negeri dan sebagainya. Namun tentu saja pemikiran ini agak kurang tepat juga, karena waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai 'level' ini bervariatif. Ada yang hanya memerlukan waktu beberapa tahun, ada juga yang sampai puluhan tahun. Kalau seperti itu, mau nunggu menikah sampai kapan? Lain cerita jika mereka berasal dari keluarga dengan kekayaan tujuh turunan. Perlu dicatat, pernikahan di usia di atas 35 tahun memiliki resiko kesehatan yang sama tingginya dengan usia remaja.Â