"Iya, makasih ya ..." Ucok tersenyum lebih lebar.
Ucok atau Perdamaian Sitompul adalah satu dari teman saya semasa SD. Keseharian kami diisi dengan belajar, bermain dan saling mengejek satu sama lain. Enam tahun bukan waktu yang sebentar, tentu.
Di balik semua ejekan itu, semua permainan bebentengan yang kami mainkan, dan sering berakhir rusuh, ada kasih sayang anak kecil yang tak ribet oleh stigma, tak luruh karena merasa musuh.
Ucok hanya satu dari sekian banyak teman saya. Ada Budi yang jangkung, dan jago olahraga. Ada almarhumah Chen Chen yang blasteran Cina-Batak, ada Eneng Patmah yang orang Sunda asli.
Setelahnya, di SMP, SMA, teman-teman saya lebih beragam. Ada yang berkulit putih terang, yang berkulit gelap, Â yang rambutnya kriwil seperti mie, yang pake jilbab (masih sedikit sekali) dan yang rajin bawa alkitab kemana-mana di dalam tasnya (yang ini seorang kawan di SMA).
Saya seperti menemukan masa kecil saya kembali.
Melihat Aprilia Manganang, atlet putri yang gagah perkasa, saya terkenang Herlina, teman di SMP/SMA, seorang Manado berambut kriwil, yang sering mencari-cari karpet kecil untuk sajadah saat kami salat di rumahnya.
Herlina yang dulu tak pernah bosan menyuruh saya dan teman-teman mengulang-ulang surat Al-Fatihah saat kami mau tes pelajaran Agama, hanya karena ia merasa "enakeun dengernya." Herlina seorang Katolik, dan masih Katolik hingga sekarang.
Melihat para atlet yang bergantian, berjuang di pelbagai cabang olahraga, saya terharu.
They are the real Indonesia.